SuaraBogor.id - Perubahan iklim makin nyata terjadi di Indonesia. Menurut laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), kawasan Asia Tenggara akan mengalami dampak yang cukup parah.
Wakil Ketua Kelompok Kerja I IPCC, Edvin Aldrian menyebut, dampak yang paling terlihat dari perubahan iklim ini berupa kenaikan permukaan laut yang lebih cepat dibanding daerah lain.
Dampak perubahan iklim ini, kata Dia, diperburuk oleh pergeseran tektonik dan efek surutnya air tanah.
“Proyeksi data menunjukkan permukaan laut regional rata-rata terus meningkat. Ini membuat banjir lebih sering terjadi di derah pantai," ungkap Edvin pada Webinar yang dilaksanakan ID COMM dan BRIN, Kamis (16/9/2021).
Dia menilai, tenggelamnya kota di pesisir utara Pulau Jawa bukan lagi sebuah prediksi. Namun sudah menjadi bahaya yang semakin nyata.
"Ditambah lagi Tingkat Total Ekstrim Air lebih tinggi di daerah dataran rendah dan erosi pantai mulai terjadi di sepanjang pantai berpasir,” tamah Pria yang juga menjabat sebagai Pakar Iklim dan Meteorologi BRIN.
Dia memastikan, kenaikan air laut akibat mencairnya es di kutub bumi dan pemuaian air laut karena pemanasan global.
"Ini yang mengakibatkan penambahan volume air laut, serta meningkatnya intensitas dan frekuensi banjir yang menggenangi wilayah daratan," papar Edvin.
Berbeda dengan Edvin, Peneliti Ahli Utama Bidang Teknologi Penginderaan Jauh BRIN, Rokhis Khomarudin menilai dampak perubahan iklim terhadap pesisir utara Pulau dipicu oleh penurunan permukaan tanah di wilayah tersebut.
Baca Juga: Dua RT di Desa Api-api PPU Terendam Banjir, Begini Kondisinya
“Manusia ikut menjadi faktor penyebab yang signifikan. Konsumsi air tanah yang masif dan tidak terkendali menyebabkan turunnya permukaan tanah," tegas Rokhis.
Meski saat ini dampaknya belum terlalu terasa, lanjut Rokhis, risiko turunnya permukaan tanah jelas membawa kerugian besar.
"Kerugian ini terjadi baik dari sisi sosial maupun ekonomi bagi negara kepulauan seperti Indonesia,” imbuhnya.
Berdasarkan citra satelit, Rokhis menyebut penurunan permukaan tanah di DKI Jakarta antara 0.1-8 cm per tahun.
Di Cirebon, penurunan 0.3-4 cm per tahun, Pekalongan 2.1-11 cm per tahun, Semarang 0.9 – 6 cm per tahun, dan Surabaya 0.3 – 4.3 cm per tahun .
"Pekalongan mengalami penurunan muka tanah yang paling tajam, karena kondisi geologi daerahbya yang merupakan tanah lunak," beber Rokhis.
Berita Terkait
-
Hari Ketiga Banjir Masih Genangi Jalur Pantura Semarang
-
Prediksi Cuaca Hari Ini 23 Oktober 2025: Waspada Transisi Musim dan Hujan Lebat
-
Nyamuk Ditemukan di Islandia, Pertanda Iklim Global Kian Menghangat
-
IRENA: Dunia Butuh Dua Kali Lipat Aksi untuk Selamat dari Krisis Iklim
-
Saat Suhu Bumi Naik, Nyamuk pun Berpesta: Awas Ancaman 'Ledakan' Demam Berdarah
Terpopuler
- Feri Amsari Singgung Pendidikan Gibran di Australia: Ijazah atau Cuma Sertifikat Bimbel?
- 7 Mobil Kecil Matic Murah untuk Keluarga Baru, Irit dan Perawatan Mudah
- Gugat Cerai Hamish Daud? 6 Fakta Mengejutkan di Kabar Perceraian Raisa
- 21 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 22 Oktober 2025, Dapatkan 1.500 Gems dan Player 110-113 Sekarang
- Pria Protes Beli Mie Instan Sekardus Tak Ada Bumbu Cabai, Respons Indomie Bikin Ngakak!
Pilihan
-
Harga Emas Sabtu 25 Oktober 2025: Antam Masih 'Hilang', UBS dan Galeri 24 Menguat
-
Superkomputer Prediksi Arsenal Juara Liga Champions 2025, Siapa Lawan di Final?
-
Bayar Hacker untuk Tes Sistem Pajak Coretax, Menkeu Purbaya: Programmer-nya Baru Lulus SMA
-
Perbandingan Spesifikasi HONOR Pad X7 vs Redmi Pad SE 8.7, Duel Tablet Murah Rp 1 Jutaan
-
Di GJAW 2025 Toyota Akan Luncurkan Mobil Hybrid Paling Ditunggu, Veloz?
Terkini
-
Mensos Gus Ipul Bongkar Data: 600 Ribu Penerima Bansos Sikat Uang Rakyat untuk Judi Online
-
Bogor Raya hingga Bali: Ini 7 Lokasi yang Akan Mengubah Sampah Menjadi Harta Karun Listrik
-
Babak Baru Demo Angkot di Bogor, Kasus Pengeroyokan Petugas Dishub Ubah Tuntutan Jadi Laporan Pidana
-
Ini Leuwiliang! Destinasi Healing di Bogor yang Punya Curug Spektakuler dan Kuliner Sunda Otentik
-
Reduksi Angkot Mandiri Tak Diapresiasi, Sopir di Bogor: Kami Mau Hidup, Bukan Dihabisi