Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Yunus
Kamis, 26 Juni 2025 | 15:55 WIB
Malam 1 Suro, penanda Tahun Baru dalam kalender Jawa, sebuah momen yang sarat akan makna spiritual, tradisi luhur, dan selubung mitos yang menyertainya [Suara.com]

SuaraBogor.id - Malam 1 Suro: Jeda Sakral di Tengah Pusaran Waktu

Ketika sebagian besar dunia merayakan pergantian tahun dengan kembang api dan pesta meriah, ada satu malam di Nusantara yang justru disambut dengan keheningan, kontemplasi, dan laku prihatin.

Itulah Malam 1 Suro, penanda Tahun Baru dalam kalender Jawa, sebuah momen yang sarat akan makna spiritual, tradisi luhur, dan selubung mitos yang menyertainya.

Malam 1 Suro bukanlah sekadar pergantian tanggal, melainkan sebuah gerbang waktu yang diyakini memiliki energi spiritual yang kuat.

Baca Juga: Minum Susu pada 1 Muharram, Apa Makna Spiritualnya?

Ini adalah saat di mana manusia Jawa diajak untuk berhenti sejenak, menengok ke dalam diri, dan menyelaraskan kembali hubungannya dengan alam semesta dan Sang Pencipta.

Asal-Usul: Sinkretisme Budaya yang Cerdas

Untuk memahami Suro, kita perlu kembali ke abad ke-17, pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma dari Kerajaan Mataram Islam.

Pada masa itu, masyarakat Jawa terbagi antara yang menggunakan kalender Saka (berbasis matahari, warisan Hindu-Buddha) dan yang mulai menganut kalender Hijriyah (berbasis bulan, dibawa oleh Islam).

Demi menyatukan rakyatnya, Sultan Agung menciptakan sebuah sistem kalender baru yang unik.

Baca Juga: 30 Ucapan Selamat Tahun Baru Islam 1447 H Penuh Makna dan Doa Harapan

Ia tetap menggunakan perhitungan tahun Saka, namun sistem penanggalannya disesuaikan dengan kalender Hijriyah yang dimulai dari bulan Muharram.

Bulan pertama dalam kalender Hijriyah, Muharram, oleh lidah Jawa dilafalkan menjadi Suro. Maka, lahirlah Kalender Jawa Islam yang monumental itu.

Dengan demikian, 1 Suro sejatinya adalah 1 Muharram. Namun, perayaannya tidak meniru tradisi Islam dari Timur Tengah, melainkan diisi dengan kearifan lokal Jawa yang sudah mengakar kuat.

Inilah wujud sinkretisme budaya yang brilian. Menyatukan keyakinan baru (Islam) dengan tradisi lama (Jawa-Hindu-Buddha) tanpa menghilangkan esensi keduanya.

Makna Inti: Introspeksi dan Mawas Diri

Berbeda dengan perayaan tahun baru Masehi yang penuh euforia, Malam 1 Suro adalah waktu untuk mawas diri (introspeksi) dan lelaku prihatin (menahan hawa nafsu).

Filosofi di baliknya adalah bahwa pergantian tahun merupakan momen yang sakral.

Manusia diajak untuk merenungkan apa yang telah dilalui selama setahun ke belakang—kesalahan, pencapaian, dan pelajaran hidup—serta memohon petunjuk dan kekuatan untuk menjalani tahun yang akan datang.

Malam ini dianggap sebagai waktu yang "kosong" dan tenang, ideal untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Oleh karena itu, kegembiraan yang berlebihan atau hura-hura dianggap tidak pantas karena dapat mengganggu kekhusyukan dan kesakralan momen tersebut.

Tradisi dan Ritual yang Melekat

Berbagai tradisi unik dijalankan untuk menyambut Malam 1 Suro, terutama di pusat kebudayaan Jawa seperti Yogyakarta dan Surakarta.

- Kirab Pusaka dan Tapa Bisu Mubeng Beteng

Tradisi ini menjadi ikon utama Malam 1 Suro, terutama di Keraton Yogyakarta dan Surakarta.

Abdi dalem dan masyarakat berjalan kaki mengelilingi benteng keraton dalam keheningan total.

Ritual ini disebut Tapa Bisu, yaitu laku prihatin dengan tidak berbicara.

Tujuannya adalah untuk memusatkan pikiran, berdoa, dan merenung tanpa gangguan.

Sering kali, kirab ini juga membawa pusaka-pusaka keraton yang diyakini memiliki kekuatan magis.

- Jamasan Pusaka

Jamasan adalah ritual membersihkan atau "memandikan" benda-benda pusaka, seperti keris, tombak, kereta kencana, hingga gamelan.

Prosesi ini bukan sekadar pembersihan fisik, tetapi memiliki makna simbolis untuk membersihkan "jiwa" sang pemilik dan masyarakat dari segala hal negatif, sehingga siap memasuki tahun yang baru dengan keadaan suci.

- Larung Sesaji

Di beberapa daerah pesisir, seperti Pantai Parangkusumo di Yogyakarta, diadakan ritual Larung Sesaji.

Masyarakat melarung atau menghanyutkan aneka hasil bumi dan persembahan lainnya ke laut.

Ritual ini merupakan wujud rasa syukur kepada Tuhan atas hasil bumi dan laut yang melimpah, sekaligus permohonan agar dijauhkan dari marabahaya selama setahun ke depan.

- Tirakat dan Melekan

Bagi masyarakat umum, Malam 1 Suro sering diisi dengan laku tirakat (upaya spiritual).

Bentuknya bisa bermacam-macam, mulai dari tidak tidur semalaman (melekan), berpuasa, hingga berziarah ke tempat-tempat yang dianggap keramat untuk berdoa dan bersemedi.

Mitos dan Larangan di Balik Kesakralan

Atmosfer sakral Malam 1 Suro juga melahirkan berbagai mitos dan pantangan yang dipercaya oleh sebagian masyarakat, antara lain:

- Larangan bepergian jauh, terutama ke tempat-tempat angker.

- Larangan menggelar hajatan, seperti pernikahan atau pindah rumah.

- Larangan berbicara kotor atau berbuat onar.

Secara filosofis, larangan-larangan ini sebenarnya bertujuan untuk menjaga kekhusyukan.

Menggelar pesta atau bepergian akan memecah konsentrasi dari tujuan utama, yaitu introspeksi.

Namun, seiring waktu, makna ini sering kali bergeser menjadi kepercayaan bahwa melanggar pantangan akan mendatangkan kesialan atau malapetaka.

Malam 1 Suro di Era Modern

Di tengah gempuran modernitas, bagaimana nasib Malam 1 Suro? Tradisi ini tetap hidup, meski dalam bentuk yang beragam.

Bagi sebagian orang, ia tetap menjadi malam spiritual yang diisi dengan doa dan tirakat.

Bagi yang lain, ia telah menjadi acara budaya dan pariwisata yang menarik, seperti Kirab Pusaka yang disaksikan ribuan wisatawan.

Bagi generasi muda, mungkin Suro lebih dikenal dari film horor atau mitosnya. Namun, banyak juga yang mulai menggali kembali maknanya sebagai bagian dari identitas budaya.

Pada akhirnya, Malam 1 Suro adalah pengingat bahwa tidak semua pergantian waktu harus dirayakan dengan hingar bingar.

Ada kalanya, kita memerlukan jeda yang sakral—sebuah malam untuk hening, merenung, dan menyucikan diri.

Ia adalah warisan luhur yang mengajarkan kita tentang pentingnya keseimbangan antara dunia luar dan dunia batin, sebuah kearifan yang semakin relevan di zaman yang serba cepat ini.

Load More