Andi Ahmad S
Senin, 04 Agustus 2025 | 14:18 WIB
Prajurit TNI AU mengevakuasi bangkai pesawat latih sipil Microlight Fixedwing Quicksilver GT500 dengan register PK-S126 yang jatuh di perkebunan warga, TPU Astana, Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Minggu (3/8/2025). [ANTARA FOTO/Fadli/Arf/rwa]

SuaraBogor.id - Sebuah pertanyaan besar membayangi tragedi jatuhnya pesawat latih Microlight Fixedwing Quicksilver GT500 di Ciampea, Bogor, yang merenggut nyawa Marsekal Pertama (Marsma) TNI Fajar Adriyanto.

Di tengah duka yang menyelimuti TNI AU, satu fakta kunci yang diungkap oleh pihak berwenang justru membuka lapisan misteri yang lebih dalam pesawat tersebut dinyatakan layak terbang.

Pernyataan ini mengubah narasi kecelakaan dari sekadar insiden teknis menjadi sebuah teka-teki investigasi yang kompleks. Jika pesawat dalam kondisi prima, faktor tak terduga apa yang menyebabkan penerbangan rutin itu berakhir fatal hanya dalam 11 menit?

Menurut Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Udara (Kadispenau), Marsekal Pertama TNI I Nyoman Suadnyana, semua prosedur standar sebelum penerbangan telah dipenuhi. Pesawat dengan registrasi PK-S126 itu mengantongi izin resmi dan telah lolos inspeksi.

"Penerbangan telah dilengkapi Surat Izin Terbang (SIT) nomor SIT/1484/VIII/2025 yang diterbitkan Lanud Atang Sendjaja. Pesawat dinyatakan laik terbang dan merupakan sortie kedua pada hari itu," jelas Kadispenau, Minggu (3/8/2025).

Fakta bahwa ini adalah sortie kedua menjadi krusial. Artinya, pesawat yang sama telah terbang dan mendarat dengan aman pada misi sebelumnya di hari yang sama.

Hal ini secara teori memperkecil kemungkinan adanya masalah teknis yang sudah ada sejak awal. Kontradiksi inilah yang menjadi titik awal bagi tim investigasi untuk mencari jawaban.

Petugas Basarnas bersama prajurit TNI AU berusaha mengevakuasi bangkai pesawat latih sipil Microlight Fixedwing Quicksilver GT500 dengan register PK-S126 yang jatuh di perkebunan warga, TPU Astana, Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Minggu (3/8/2025). [ANTARA FOTO/Fadli/Arf/rwa]

Dengan adanya sertifikasi layak terbang, fokus penyelidikan oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) dan tim internal TNI AU akan bergeser dari pertanyaan "Apakah pesawatnya rusak?" menjadi "Apa yang terjadi di udara?".

Beberapa kemungkinan 'Faktor X' yang kini menjadi prioritas untuk didalami antara lain:

Baca Juga: Mengupas Tuntas Etos Kerja dalam Kitab Ihya, Pengajian PCNU Bogor Jadi Sorotan

  • Faktor Alam yang Ekstrem: Kawasan Bogor dan sekitarnya dikenal memiliki kondisi cuaca mikro yang sulit diprediksi.

Fenomena berbahaya seperti microburst (ledakan angin ke bawah) atau wind shear (perubahan arah atau kecepatan angin secara tiba-tiba) bisa memberikan tekanan ekstrem pada struktur pesawat ringan seperti Quicksilver GT500, bahkan bagi pilot berpengalaman sekalipun.

  • Faktor Manusia (Human Factor): Meskipun Marsma Fajar adalah penerbang tempur F-16 "Red Wolf" yang sangat andal, investigasi kecelakaan udara selalu menempatkan faktor manusia sebagai salah satu elemen yang wajib dianalisis.

Kemungkinan seperti disorientasi spasial, atau kondisi medis mendadak tidak bisa dikesampingkan hingga terbukti sebaliknya.

  • Kegagalan Mekanis Tak Terdeteksi: Status "laik terbang" tidak menjamin 100% kekebalan terhadap kegagalan.

Ada kemungkinan terjadinya material fatigue (kelelahan material) atau kegagalan komponen kritis secara tiba-tiba di tengah penerbangan yang tidak terdeteksi saat inspeksi pra-terbang.

  • 09.08 WIB: Pesawat Quicksilver GT500 (PK-S126) lepas landas dari Lanud Atang Sendjaja. Misi: Latihan profisiensi FASI.
  • 09.19 WIB: Kontak dengan menara pengawas terputus. Pesawat hilang dari radar. (Durasi penerbangan hanya 11 menit).
  • 09.19 WIB: Pesawat ditemukan jatuh di area TPU Astana, Ciampea. Kedua awak dievakuasi. Marsma Fajar dinyatakan meninggal di rumah sakit.

Tim investigasi kini bekerja mengumpulkan puing-puing pesawat (wreckage) untuk dianalisis di hanggar. Setiap bagian, terutama bagian mesin, sistem kemudi, dan struktur sayap, akan diperiksa secara forensik untuk mencari petunjuk anomali yang terjadi di detik-detik terakhir penerbangan.

Kontributor : Egi Abdul Mugni

Load More