Kearifan Lokal Terancam? Modernitas dan Ketidakadilan Gerogoti Peran Masyarakat Adat

Sayangnya, modernisasi, ketimpangan agraria, penyingkiran sistematis, serta dampak perubahan iklim telah menggerus peran vital masyarakat adat dalam menjaga keberlanjutan

Andi Ahmad S
Sabtu, 17 Mei 2025 | 18:44 WIB
Kearifan Lokal Terancam? Modernitas dan Ketidakadilan Gerogoti Peran Masyarakat Adat
Daulat Pangan Nusantara: Dari Ragam Budaya Memuliakan Pangan sampai Peluang Keberlanjutan untuk Memuliakan Bumi [ist]

SuaraBogor.id - Daulat pangan tidak semata berbicara soal ketahanan pangan, tetapi juga menyangkut keadilan ekologis, pengakuan terhadap pengetahuan lokal, serta upaya kolektif menyelamatkan bumi dari krisis yang terus memburuk.

Selama ratusan bahkan ribuan tahun, masyarakat adat di Nusantara telah membuktikan bahwa praktik dan kearifan lokal mereka mampu memenuhi kebutuhan pangan tanpa merusak alam.

Sayangnya, modernisasi, ketimpangan agraria, penyingkiran sistematis, serta dampak perubahan iklim telah menggerus peran vital masyarakat adat dalam menjaga keberlanjutan ekologi dan kedaulatan pangan.

Demikian disampaikan oleh Muhamad Burhanudin, Manajer Advokasi Kebijakan Lingkungan Yayasan KEHATI, dalam talkshow bertajuk “Daulat Pangan Nusantara: Dari Ragam Budaya Memuliakan Pangan sampai Peluang Keberlanjutan untuk Memuliakan Bumi” yang digelar oleh Indonesian Society of Botanical Artists (IDSBA) dan didukung oleh Yayasan KEHATI.

Baca Juga:11 PSK MiChat di Bogor Ditangkap, 535 Botol Miras Diamankan

“Melestarikan pangan lokal bukan hanya soal menjaga warisan budaya, tetapi juga mempertahankan fungsi ekologis hutan, air, dan tanah. Ini adalah investasi untuk masa depan, dan masyarakat adat kita telah mempraktikkannya sejak lama,” tegas Burhanudin, Sabtu (17/5/2025).

Indonesia, lanjutnya, merupakan rumah bagi sekitar 50–70 juta masyarakat adat atau sekitar 18–25% dari total populasi.
Mereka memainkan peran strategis dalam menjaga ketahanan pangan dan kelestarian lingkungan melalui sistem pangan lokal berbasis kearifan tradisional.

Sistem seperti ladang berpindah, subak, repong damar, sasi, lubuk larangan, dan praktik agroekologis lainnya terbukti menjaga biodiversitas sekaligus menyediakan pangan berkelanjutan.

Dengan potensi 30,1 juta hektare hutan adat, masyarakat adat mampu menyediakan pangan tanpa merusak lingkungan, serta menjamin ketahanan pangan jangka panjang berbasis keadilan ekologis.

“Kontribusi mereka sangat vital dalam menghadapi krisis iklim dan membangun masa depan yang berdaulat dan berkelanjutan,” ujar Burhanudin, yang juga merupakan Inisiator Forum Dialog Konservasi Indonesia (FDKI).

Baca Juga:DPRD Kota Bogor dan Pemerintah Kota Satu Visi Berantas Minuman Beralkohol Ilegal

Namun, arah modernisasi pertanian di Indonesia justru membawa dampak negatif. Varietas benih lokal menghilang, tergantikan oleh benih homogen.

Lahan produktif beralih fungsi menjadi perkebunan skala besar, tambang, dan proyek food estate. Di saat yang sama, perubahan iklim menyebabkan cuaca ekstrem, pergeseran musim tanam, banjir, dan kekeringan yang mengancam ketahanan pangan komunitas lokal.

Ketimpangan agraria pun makin mencolok. Dari total 30,1 juta hektare wilayah adat yang terdaftar, baru 265.250 hektare yang diakui secara legal (data BRWA, 2024).

Ironisnya, sekitar 8,16 juta hektare wilayah adat tumpang tindih dengan izin konsesi tambang dan perkebunan, serta lebih dari 11 juta hektare menjadi lokasi konflik agraria.

Dalam konflik-konflik ini, masyarakat adat kerap tersingkir dari tanah mereka sendiri.

“Ekosistem pangan lokal terdesak oleh ekspansi sawit, tambang, dan proyek infrastruktur yang abai terhadap keberlanjutan. Ini bukan hanya kehilangan pangan, tetapi kehilangan kehidupan bagi komunitas adat,” tegasnya.

Dorong Pengesahan RUU Masyarakat Adat

Burhanudin menekankan pentingnya perubahan kebijakan yang selama ini bersifat sektoral dan eksploitatif.

Ia menyerukan integrasi kebijakan berbasis bentang alam dan pengakuan penuh terhadap hak masyarakat adat sebagai garda terdepan konservasi pangan.

Salah satu langkah strategis yang mendesak, katanya, adalah pengesahan RUU Masyarakat Adat sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap komunitas adat dan wilayah kelolanya.

Selain itu, Burhanudin menggarisbawahi empat langkah konkret untuk memperkuat keberlanjutan pangan Nusantara:

  • Penguatan hak wilayah kelola rakyat, terutama bagi masyarakat adat dan perempuan petani.
  • Pemberdayaan sistem pangan lokal berbasis agroekologi dan kearifan tradisional.
  • Reformasi kebijakan lintas sektor untuk mendukung pangan sehat, adil, dan berkelanjutan.
  • Pendidikan lintas generasi guna membangun kesadaran ekologis sejak dini.

“Regulasi hari ini harusnya melindungi, bukan menghambat masyarakat adat yang telah menjaga bumi dan menyediakan pangan selama ratusan tahun,” tutupnya.

Kontributor : Egi Abdul Mugni

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak