Kisah Makam Tanpa Nama Prajurit Nazi Yang Gugur di Kaki Gunung Pangrango Megamendung Bogor

Bogor juga menjadi tujuan masyarakat Jabodetabek untuk menghabiskan waktunya di tempat-tempat wisata seperti di kawasan Puncak Bogor, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Andi Ahmad S | Andi Ahmad S
Selasa, 16 Agustus 2022 | 21:00 WIB
Kisah Makam Tanpa Nama Prajurit Nazi Yang Gugur di Kaki Gunung Pangrango Megamendung Bogor
empat pemakaman 10 eks Anggota Tentara Nazi Jerman yang terletak di kawasan kaki Gunung Pangrango, Kampung Arca, RT04/04, Desa Sukaresmi, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. (Suara.com/Andi Ahmad Sulaendi).

Dari selembaran tulisan yang diperlihatkan kepada jurnalis Suarabogor.id itu berjudul 'Arca Domas Makam Tentara Jerman di Indonesia' ditulis oleh : Gunther Trieble. 

Melalui tulisan selembaran itu, Nyai menceritakan asal usul sampai adanya pemakaman 10 Tentara Jerman yang dikubur di sebuah kawasan kaki Gunung Pangrango, Bogor, Jawa Barat tersebut.

"Sebuah cerita mengenai kerajaan yang hilang tentang pohon-pohon keramat, perang yang brutal, kapal-kapal yang tenggelam arwah para pelaut dan tentang makam yang damai di kaki gunung api," tulisan tersebut kata Nyai merupakan awal pembuka dalam sebuah tulisan yang diterimanya itu.

Zaman dahulu kala terdapat sebuah kerajaan di Jawa Barat, dibawah kekuasaan raja-raja dari silsilah Padjajaran yang bersama para brahmananya, memerintahkan rakyat sunda lebih dari 1000 tahun lamanya, berabad-abad lamanya para bangsawan memakamkan para sesepuhnya dibawah pohon keteduhan beringin terletak di kaki Gunung Pangrango.

Baca Juga:LBH Menilai Keterlibatan Kapuslabfor Dalam Skenario Ferdy Sambo Menambah Buruk Citra Polri

Jumlah nisan disana pernah mencapai 800 buah, sehingga makam tersebut diberi nama Arca Domas. 

Pada sekitaran abad ke 11, Islam berhasil menghancurkan kerajaan tersebut beserta seluruh umatnya, dan candi-candinya serta mengislamkan hampir seluruh rakyat Sunda. Para Brahmana berhasil melarikan diri ke pegunungan yang terpencil. 

Sampai pada waktu itu mereka mengucilkan diri segala pengaruh dunia luar. Tak ada orang yang boleh menginjak daerah mereka dari sini, mereka dikenal dengan nama suku Badui.

Berjalannya waktu, batu nisa itu telah digunakan masyarakat untuk membuat rumah mereka. Serta tanah mereka rubah menjadi perkebunan dan pertanian yang bermanfaat. Namun pohon-pohon beringin yang masih berdiri angker disana tetap mengingatkan masyarakat tentang tanah tersebut.

Setelah berakhirnya perang Dunia ke satu, dua bersaudara asal Jerman, Emil serta Theodor Helfferich membeli 900 hektar tanah, dimana mereka mendirikan perkebunan serta pabrik teh mereka. 

Baca Juga:Lampu Penerangan Jalan di Kebon Jeruk Mati, Jalanan Mendadak Gelap

Mereka juga mendirikan bangunan-bangunan lain didaerah dengan ketinggian 900 meter diatas permukaan laut tersebut. Kakak tertua mereka Karl Helfferich pernah menjabat sebagai Wakil Kanselir Jerman dibawah Kanselir Jerman terakhir.

Karena mereka dekat dengan angkatan laut Kekaisaran Jerman serta untuk mengabadikan armada Asia Timur Jerman dibawah laksamana Graf Spee yang ditenggelamkan oleh armada dari Britania Raya. Mereka mendirikan sebuah prasasti dibawah pohon-pohon kramat tersebut.

Sebagai penghormatan kepada kebudayaan tuan tanah Pasundan, mereka juga mendirikan patung Budha dan patung Ganisha yang mengapit prasasti tersebut, berlangsung pada 1 Oktober 1926 yang dihadiri oleh wakil-wakil dari pemerintah Hindia-Belanda, Konsul Jendral Jerman dengan delegasi dari kapal latih penjelajah 'Hamburg' yang merupakan kapal perang pertama, setelah kalah dalan Perang Dunia ke 1 kembali mengunjungi pelabuhan-pelabuhan Hindia-Belanda.

Prasasti tersebut bertuliskan 'Bagi Satuan tempur Jerman-Asia Timur yang gagah berani, 1914'. 

Ketika kapal latih penjelajah 'Hamburg' meninggalkan Pulau Jawa, ada satu orang awak kapal yang tidak ada Obermatrose meninggal pada suatu kecelakaan dan dimakamkan dengan penghormatan secara militer di tempat suci ini.

Pada tahun 1943 perang Dunia II sedang berkecamuk dan di Indonesia berada di kekuasaan Jepang. Jerman dan Jepang mendirikan pangkalan laut bersama di Jakarta. Pimpinan pangkalan tersebut saat itu adalah Kolonel Al Hermann Kandler.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak