Masalah Validitas Data Ketidakakuratan data menghambat pengentasan kemiskinan di Bogor. Sinkronisasi antarprogram yang buruk menyebabkan bantuan sering salah sasaran, sehingga warga miskin ekstrem justru terabaikan akibat sistem administrasi yang belum terintegrasi secara maksimal.
Dampak Manipulasi Identitas Sekitar 3.000 warga tidak layak huni gagal mendapat bantuan karena identitasnya disalahgunakan orang kaya untuk pajak kendaraan. Praktik manipulasi ini sangat merugikan masyarakat kecil dan merusak keadilan distribusi bantuan pemerintah.
Tantangan Mentalitas Masyarakat Selain faktor ekonomi, kemiskinan mentalitas menjadi kendala serius. Fenomena warga mampu yang mengaku miskin demi bantuan gratis merusak validitas data, sehingga perbaikan mentalitas jujur menjadi kunci utama solusi kemiskinan tersebut.
SuaraBogor.id - Persoalan kemiskinan di wilayah perkotaan seperti Bogor ternyata menyimpan benang kusut yang rumit. Bukan sekadar kekurangan uang, masalah ini melibatkan ketidakadilan data hingga mentalitas masyarakat yang perlu dibenahi.
Wali Kota Bogor, Dedie A Rachim, baru-baru ini membongkar realitas pahit di balik angka statistik tersebut. Dalam diskusi "Menelaah Kemiskinan Di Kota Bogor", ia menegaskan bahwa kucuran dana saja tidak akan sukses tanpa perbaikan basis data.
Berikut adalah 4 fakta menarik sekaligus miris terkait carut-marut penanganan kemiskinan di Kota Bogor:
1. 3.000 Warga Miskin Jadi 'Tumbal' Pajak Orang Kaya
Baca Juga:Mahkota Kujang Tugu Pancakarsa Ternyata Pakai Bahan Kuningan, Ini Spesifikasinya
Fakta pertama ini paling mencengangkan dan membuat elus dada. Dedie mengungkap adanya fenomena warga miskin yang menjadi korban akal-akalan orang kaya atau majikannya.
Terdapat sekitar 3.000 warga Bogor yang kondisi rumahnya sangat tidak layak huni, namun mereka ditolak sistem saat mengajukan bantuan.
"Dampaknya, saat dilakukan cek silang (crosscheck) menggunakan aplikasi Solid untuk menentukan penerima bantuan, mereka tidak dapat menerima bantuan karena terdeteksi memiliki kendaraan," ujar Dedie.
2. Data 'Gado-Gado': Beda Program, Beda Status
Bagi generasi muda yang aware isu kebijakan publik, sinkronisasi data pemerintah adalah PR abadi. Dedie membeberkan fakta lapangan bahwa satu warga miskin bisa memiliki status yang berbeda-beda di tiap program.
Baca Juga:Jadi Welcoming Icon Baru Bogor, Tugu Pancakarsa Siap Hiasi Feed Instagram: Cek Spot Foto Terbaik!
Data penerima Program Keluarga Harapan (PKH) bisa tidak sinkron dengan penerima BPJS PBI, Bantuan Langsung Tunai (BLT), hingga bantuan Rumah Tidak Layak Huni (RTLH). Kekacauan ini membuat profil penerima bantuan menjadi bias.
Mereka yang terdata di sistem belum tentu masuk kategori miskin ekstrem yang sesungguhnya membutuhkan pertolongan mendesak.
3. Mentalitas 'Mendadak Miskin' Saat Ada Bantuan
Selain masalah teknis, Dedie menyoroti penyakit sosial berupa kemiskinan mentalitas. Fenomena warga yang memanipulasi status ekonomi demi mendapatkan bantuan gratisan masih marak terjadi.
Ia mencontohkan saat pandemi COVID-19 lalu, banyak data bantuan untuk pelaku UKM yang ternyata jatuh ke tangan warga dengan profesi yang sebenarnya tidak berhak. Mentalitas ingin disuapi inilah yang merusak validitas data kemiskinan yang sebenarnya.
"Persoalan yang dihadapi bisa jadi adalah miskin secara mentalitas," kata Dedie Rachim menegaskan.