Scroll untuk membaca artikel
Andi Ahmad S
Kamis, 30 September 2021 | 06:35 WIB
Pelaku Sejarah di Depok Baba Haji Entong Sueb [Suarabogor.id/Immawan]
Poster nobar Film G30 S PKI yang diselenggarakan FUI (Foto: Timesindonesia)

Namun di masa G30SPKI, jumlah sekolah di Depok masih terhitung dengan jari. Itu pun hanya mampu dijangkau oleh masyarakat dari kalangan ekonomi menengah ke atas.

Jumlah sekolah yang sedikit, berdampak pada tingginya tingkat buta huruf di masyarakat Depok waktu itu. Tetapi, buta huruf yang dimaksud terbatas pada aksara latin. Sementara literasi masyarakat tentang huruf arab, jauh lebih baik.

“Orang-orang tua sampai kakek-nenek Baba itu bisa ngaji, tapi gabisa baca,” ungkap Baba.

Aksara latin memang belum bisa diterima sepenuhnya oleh warga Depok, terutama yang bersuku Betawi di masa itu. Pasalnya, aksara latin identik dengan penjajah yang lama menyengsarakan hidup mereka.

Baca Juga: Bejat! Mau Gagahi Istri Orang, Oknum Petugas Keamanan di Bogor Ditangkap

“Jadi bencinya sampe ke situ-situ (huruf latin),” imbuh Baba.

Mayoritas masyarakat Depok saat itu bertani, lalu sebagian lainnya berdagang ke daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

Karena berdagang ke wilayah di arah Selatan, penduduk yang pulang berdagang biasa disebut pulang mudik. Sebaliknya, penduduk yang berangkat berdagang disebut milir.

“Mudik itu selatan. Makanya agak salah kaprah kalau sekarang mudik itu dibilang pulang ke kampung,” sambung Baba.

Jangankan anak muda yang nongkrong di Café, pasar rakyat yang kini ramai setiap hari hanya buka 2 kali seminggu pada masa itu.

Baca Juga: Polda Metro Targetkan 70 Persen Warga Depok Telah Divaksin Dosis Pertama Pada Oktober

Pasar yang lengkap menjual kebutuhan sehari-hari masyarakat buka setiap Selasa dan Kamis, mulai pukul 05.00 WIB atau habis subuh sampai pukul 10.00 WIB.

Load More