Scroll untuk membaca artikel
Ari Syahril Ramadhan
Senin, 15 Agustus 2022 | 06:53 WIB
Rektor IPB Arif Satria. [Suara.com/Rambiga]

SuaraBogor.id - Harga gandum dunia terus mengalami kenaikan sebagai dampak dari perang yang terjadi antara negara penghasil gandun yakni Rusia dan Ukraina.

Di tengah krisis itu, Institut Pertanian Bogor (IPB) menawarkan kepada para produsen mi instan agar dapat menggunakan hasil inovasi para peneliti yang telah menghasilkan lima bahan dasar pangan lokal varietas unggul yaitu jagung, ganyong, sukun, kasava dan sagu, sebagai substitusi impor gandum.

"207 juta ton (gandum) tertahan di Ukraina dan di Rusia. Ini momentum agar Indonesia semakin berdaulat pangan tidak tergantung pada gandum dan terigu dengan ada inovasi substitusi impor ini," kata Rektor IPB Arief Satria, Minggu (14/8/2022).

Arief menyampaikan saat ini IPB telah menghasilkan inovasi produk mi dari lima bahan dasar lokal itu yang bisa dikerjasamakan dengan para produsen industri mie instan yang berkualitas.

Dengan beragam inovasi itu, Arief berpandangan, sudah saatnya pemerintah memberikan kebijakan rasio impor gandum yang disubstitusi dengan berbagai bahan pangan lokal itu hingga swasembada seperti beras.

"Nah saya usul kepada pemerintah agar ada kebijakan rasio. Jadi setiap kali impor misalnya 10 ton gandum, maka importir harus membeli sekian ton produk lokal, itu kebijakan rasio dan itu bisa bertahap," kata Rektor IPB.

Tahap pertama, kata dia, substitusi masih tergantung kapasitas lokal. Kalau kapasitas lokal mencukupi 100 persen, diawali dengan 10 banding 1 ton, atau dengan kata lain 10 ton produk impor dan 1 ton lokal. Bahkan kalau lokalnya sudah berkembang, bisa 10 banding 5 ton hingga 1 banding 1 ton.

"Kalau sudah 1 banding 1 kan bagus. Artinya apa? Produk lokal akan terserap. Kalau produk lokal akan terserap, artinya apa? Desa tumbuh. Kalau desa tumbuh, ekonomi tumbuh," ujar Arief.

Baca Juga: Harga Gandum Diprediksi Tak Akan Naik, Komut ID FOOD: Sudah Berada di Angka Tertinggi

Rektor IPB itu pun mengemukakan, ancaman krisis pangan yang ada secara global akibat perang Rusia dengan Ukraina bisa menjadi momentum untuk semakin berkomitmen terhadap kedaulatan pangan dan kemandirian pangan.

"Jadi jangan lagi tergantung pada dunia luar. Kita punya banyak lahan, kita punya banyak produk, kita punya banyak inovasi untuk mensubstitusi itu," kata dia.

Arief pun mendorong agar pemerintah mempunyai kebijakan yang mendukung beserta aksi yang kuat agar substitusi terigu dan gandum segera dilakukan.

Direktur Serealia Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementan M Ismail Wahab pada Sabtu (13/8), menyampaikan untuk memenuhi kebutuhan gandum dalam negeri yang harganya naik karena imbas perang Rusia-Ukraina, pemerintah mempertimbangkan beberapa tanaman pangan lokal untuk mensubstitusinya, seperti singkong, sagu, dan sorgum.

"Sorgum saya kira tanaman yang berpotensi besar untuk menggantikan gandum," kata Ismail.

Ismail menekankan dibutuhkan bantuan teknologi pangan untuk memberi sorgum kemampuan yang sama dengan gandum yaitu memiliki kandungan gluten atau zat yang mampu mengembang ketika diolah.

Pada 2021 impor gandum tercatat 11,69 juta ton. Pemerintah menargetkan pengurangan impor komoditi tersebut secara bertahap, yaitu impor gandum berkurang 5 persen tahun ini, menurun 10 persen di 2023, hingga di tahun 2025 impor gandum berkurang 20 persen. [Antara]

Load More