Perpaduan gorengan dan bumbu khas itulah yang kemudian tercetus nama Bacol alias Bala-bala Cocol. Nama itu tercetus dari anak-anak sekolah saat itu.
"Awalnya anak-anak sekolah dulu yang suka nyebut gorengan bikinan orang tua saya Bacol," sebut Iran.
Sejak saat itulah Bacol dikukuhkan menjadi semacam brand gorengan keluarganya. Pada 2000-an, bala-bala, gehu dan cireng yang kini dijual di Jalan Raya Sriwijaya dan Jalan Permana, Kota Cimahi itu mulai dikenal.
Tak sedikit orang yang sengaja datang dari daerah lain hanya untuk memuaskan lidahnya dengan rasa khas gorengan Bacol. Meski nyaris berusia tiga dekade, enaknya tetap konsisten hingga kini.
Baca Juga:Warga Gaza Berebut Sup Gratis untuk Buka Puasa
Hal itulah yang membuat "Bacol" tetap konsisten dengan gorengan mini dan bumbu khasnya. Kemunculan-kemunculan gorengan serupa sama sekali tidak menggerus peminatnya.
Dalam sehari, bisa terjual hingga 10.000 gorengan. Penjualannya akan lebih mengikat saat bulan Ramadan. Rata-rata habis terjual sekitar 30.000 dalam sehari. Itu sebelum Covid-19 mewabah.
Setelah Covid-19 mewabah, penjualannya pun menurun hanya sekitar 5.000 yang terjual dalam sehari. Kemudian saat bulan puasa hanya sekitar 15.000 yang terjual.
Dari gorengan yang terjual itu, omzet yang didapat mencapai Rp10 juta. Namun menurun 30% saat pandemi Covid-19. Ketika memasuki bulan Ramadan, omzetnya biasanya naik hingga Rp15 juta per bulan.
"Penyebabnya karena ada pembatasan pas awal-awal. Terus dulu setelah salat Tarawih itu masih banyak yang beli, sekarang lewat magrib udah jarang,” ungkap Iran.
Baca Juga:Icip-icip Bacol, Jajanan Legendaris Cimahi dengan Omzet Rp 15 Juta/Hari
Meski ada penurunan penjualan, namun Bacol khas Cimahi itu masih menjadi salah satu kuliner buruan, termasuk bulan Ramadan karena menjelang buka puasa biasanya pembeli sampai rela antre.