SuaraBogor.id - Asal usul nama Jalan Margonda Raya. Jalan Margonda Depok tidak asing lagi di telinga masyarakat yang pernah ke Kota Depok. Nama Margonda ternyata diambil dari nama seorang pejuang kemerdekaan, ini lah asal usul Jalan Margonda.
Jalan Margonda adalah Jalan utama Kota Depok dan membelah kota Depok hingga mempermudah akses jalan. Berdasarkan data dari Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kota Depok terbagi menjadi tiga bagian pengelolaan yaitu nasional atau Pemerintah Pusat, provinsi Jawa Barat, dan Pemerintah Kota Depok.
Jalan utama itu memiliki panjang Jalan sekitar 1,64 kilometer. Jalan Margonda Raya sekarang ini menjadi wajah Kota Depok.
Bahkan menjadi pusat perekonomian di Kota ini. Juga jalan ini penghubung jalan menuju Jakarta.
Baca Juga:Mau Tahu Asal Usul Nama Depok dan Berdirinya Kota Depok?
Nama Jalan Margonda Raya Depok ini diambil dari nama seorang pejuang kemerdekaan.
Dia adalah seorang pemuda yang ikut berjuang memerdekan bangsa ini dari penjajahan Belanda kala itu.
Menelusuri sejarah Margonda berarti kembali ke masa-masa revolusi saat peralihan kekuasaan dari Belanda ke Jepang.
Wenri Wanhar, penulis buku ‘Gedoran Depok: Revolusi Sosial di Tepi Jakarta 1945-1955’ menyebut Margonda adalah nama seorang pemuda yang belajar sebagai analis kimia dari Balai Penyelidikan Kimia Bogor.
Lembaga ini dulunya bernama Analysten Cursus. Didirikan sejak permulaan perang dunia pertama oleh Indonesiche Chemische Vereniging, milik Belanda.
Baca Juga:Asal Usul Nama Cibinong, Berasal dari Pohon Raksasa dan Keramat
Memasuki paruh pertama 1940-an, Margonda mengikuti pelatihan penerbang cadangan di Luchtvaart Afdeeling, atau Departemen Penerbangan Belanda.
Namun tidak berlangsung lama, karena 5 Maret 1942 Belanda menyerah kalah, dan bumi Nusantara beralih kekuasaannya ke Jepang. Margonda lantas bekerja untuk Jepang.
Saat Jepang takluk dengan bom atom Amerika di Nagasaki dan Hiroshima pada tahun 1945, Margonda ikut aktif dengan gerakan kepemudaan yang membentuk laskar-laskar.
Margonda bersama tokoh-tokoh pemuda lokal di wilayah Bogor dan Depok mendirikan Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI) yang bermarkas di Jalan Merdeka, Bogor.
Sayangnya, umur AMRI di bawah pimpinan Margonda relatif singkat.
Mereka pecah dan anggotanya bergabung dengan BKR, Pesindo, KRISS dan kelompok kecil sejenis lainnya. Sementara itu, wilayah Depok sejak lama menjadi ‘daerah istimewa’.
Nama Margonda tercatat di Museum Perjuangan Bogor bersama ratusan pejuang yang gugur.
Semasa berjuang, Margonda berkawan dekat dengan Ibrahim Adjie dan TB Muslihat. TB Muslihat senasib dengan Margonda.
Dia gugur dalam pertempuran. Pemerintah Bogor membangun patung TB Muslihat di Taman Topi, sekitar stasiun Bogor.
Sementara Ibrahim Adjie, berhasil selamat. Dia berkarir menjadi tentara dengan jabatan akhir Pangdam Siliwangi.
Versi Lain Sejarah Jalan Margonda.
Jalan Margonda kini menjadi jalan utama Kota Depok itu pun kita sudah mengetahui bagi yang sudah pernah ke Kota itu.
Berdasarkan beberapa sumber dirangkum Suara. com dulu Jalan Margonda merupakan jalan buntu yang asri dimana sisi kiri dan kanannya berjejer rapi pohon asem yang kadang terdapat hutan bambu dan perkebunan karet.
Bahkan dulu menuju jalan Margonda dari Jakarta melalui Jalan Raya Bogor menuju Jembatan Panus dan Jalan Siliwangi yang berakhir di ujung Jalan Margonda Pondok Cina.
Di mana tidak jauh dari rumah tuan tanah saudagar Cina yang kini sudah menjadi pusat belanja di tengah -tengah Kota Depok yaitu Margocity.
Tapi kenapa jalan buntu itu diberi nama Jalan Margonda? Ada banyak versi asal usul nama Jalan Margonda.
Ada versi yang mengatakan Margonda merupakan nama seorang tuan tanah yang tinggal dikawasan Beji.
Margonda lahir dan besar di Bogor, ia dan keluarganya tinggal di Jalan Ardio Bogor.
Waktu masih sekolah, Margonda terkenal sebagai atlet berprestasi. Nama aslinya adalah Margana. Dia menikah dengan keponakan MS Mintaredja yang pernah menjadi menteri Sosial dalam kabinet Presiden Soeharto dan bermukim sampai hayatnya di Beji, Depok.
Sepanjang Jalan Margonda Terdapat Bangunan Rumah Tua Pondok Cina
Perlu diketahui juga, selain banyak cerita tentang Jalan Margonda. Di situ ada bangunan tua yang memiliki sejarah.
Bangunan tua itu adalah Rumah Tua Pondok Cina.
Rumah bergaya arsitektur Belanda itu harus terapit megahnya hotel dan area pusat perbelanjaan megah Margo City.
Mungkin musisi legendaris Iwan Fals tak salah jika dia pernah membuat lirik lagu “Sampai saat tanah moyangku tersentuh sebuah rencana dari serakahnya kota, terlihat murung wajah pribumi…”
Petikan lagu ini seolah menjadi pembenaran atas pembangunan sebuah kota.
Esensi pembangunan massal menjadi seolah wajar jika situs bersejarah harus menjadi kenangan.
Kini Rumah tua itu sekarang sudah jadi bagian dari Margo Hotel. Jadi, akses jalan umum ke sana sudah ditutup.
Sekilas rumah itu memang tak berubah. Namun beberapa bagian ada penambahan. Misalnya, atap rumah bisa dijadikan tempat buat nongkrong.
Padahal sebelum dibangun Mal, rumah Pondok Cina bisa dilihat ketika melintas di Jalan Margonda Raya.
Kini jangan harap rumah Pondok Cina bisa terlihat dari Jalan Margonda Raya. Sebelum mata ini dibuat terpukau oleh gaya arsitektur bangunan rumah tua itu, Hotel puluhan lantai lebih dulu menjadi pemandangan paling utama selain menara Pusat Perbelanjaan Margo City.
Terpisah, Koordinator Bidang Har-ta Milik Yayasan Lembaga Cornelis Castelein (YLCC) Ferdy Jonathans belum lama ini mengatakan jika rumah tua Pondok Cina merupakan salah satu situs bersejarah Kota Depok.
Keberadaannya menjadi tak terelakan sebagai bentuk asal muasal nama Pondok Cina.
"Cornelis membeli sebagian tanah dari pemilik rumah itu, orang Cina bermarga Tan” ujarnya Ferdy.
Dia menuturkan jika keberadaan orang-orang etnis Tionghoa tak lebih ketika melakukan dagang di wilayah Depok.
Keberadaan orang Cina di Depok diyakini sudah lama sebelum Cornelis Castelein membeli tanah dan mempekerjakan 150 orang di Depok.
Hubungan dagang orang-orang Tionghoa di Depok memang tak dibatasi oleh Cornelis. Namun hanya membatasi agar para pedagang etnis Tionghoa itu tak tinggal di wilayah Depok.
“Mereka akhirnya mendirikan pondok-pondok di sepanjang Kali Ciliwung daerah Pondok Cina,” kata Ferdy. Karena banyaknya pondok-pondok berisi orang Tionghoa, maka nama daerah yang dulu disebut Kampung Bojong itu berubah menjadi Pondok Cina hingga kini.
Kontributor : Supriyadi