SuaraBogor.id - 30 September ini merupakan sejarah kelam bagi bangsa Indonesia. Sebab, tepat pada hari ini peristiwa berdarah terjadi di Tanah Air yang sering disebut adanya gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S PKI).
Sebab, peristiwa G30S PKI ini menewaskan para jenderal dan satu perwira TNI AD. Tentunya, hal itu tidak bisa dilupakan oleh bangsa Indonesia.
Pada 30 September kali ini tentunya tidak bisa dilupakan juga oleh salah seorang pelaku sejarah di Depok yakni Baba Haji Entong Sueb.
Dia turut menceritakan kondisi mencekam dan keuangan serba susah akibat adanya pemberontakan G30S PKI di Tanah Air.
Baca Juga:Cerita Detik-detik Letnan MT Haryono Dibunuh saat G30SPKI, dari Mimpi Ditusuk Tombak
Namun rasa takut dan kesusahan yang diingat Baba-sapaan akrabnya, bukan berasal dari jejak kekejaman PKI di Kota Depok kala itu. Melainkan akibat tindakan represif aparat yang berdalih menumpas PKI, ditambah dampak ekonomi pasca peristiwa G30SPKI tersebut.
Baba Entong Sueb merupakan salah satu pelaku sejarah yang tersisa, dia berani dan mau serta mampu menceritakan fakta sejarah tentang Kota Depok di masa G30SPKI.
Baba menceritakan kisahnya pada SuaraBogor.id -jaringan Suara.com di rumahnya, Jalan Raden Sanim, Kelurahan Tanah Baru, Kecamatan Beji, Kota Depok pada Jumat (24/9/2021) kemarin.
Kondisi mencekam yang diingat Baba, terjadi ketika pasukan tentara dari Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang sekarang disebut Kopassus, salah menyisir wilayah.
Seperti diketahui, pasca peristiwa G30SPKI, tentara Angkatan Darat diperintahkan untuk menumpas anggota PKI yang tersisa di seluruh penjuru Tanah Air.
Baca Juga:Tanah dan Bangunan Terpidana Korupsi Proyek Hambalang di Jakarta Dilelang KPK
Sekitar minggu kedua Oktober 1965, mereka sampai ke Depok. Mereka mencegat warga di sepanjang jalan dari markasnya di Cijantung, Jakarta Timur serta masuk ke rumah-rumah untuk menginterogasi tiap warga.
RPKAD menginterogasi setengah menuduh. Karenanya, entah disengaja atau tidak, perlakuan mereka terasa kasar dan membuat masyarakat ketakutan.
“Ditanya baik-baik saja masyarakat pasti sudah bingung, apalagi ditanya kasar. Bagaiamana (masyarakat) bisa nggak takut?,” kata Baba mengawali ceritanya.
Belakangan diketahui, pada hari itu, pasukan RPKAD harusnya menyisir wilayah Krukut Hilir, dekat Pondok Labu, Jakarta Selatan. Bukannya Kampung Krukut, Depok yang jadi tempat tinggal Baba waktu itu.
“Waahh. Waktu itu yang namanya parang, pancong sama arit buat babat rumput kita kubur-kuburin semua. Di kebon, di belakang rumah. Pokoknya biar gak diangkut (oleh RPKAD),” kata Baba.
Dalam operasi yang dilakukan RPKAD, banyak anggota aktif, simpatisan dan masyarakat biasa yang dituduh sebagai anggota PKI, ditangkap sebagai tahanan politik.
Mereka yang ditangkap, kemudian dibantai atau diasingkan ke Pulau Buru, Provinsi Maluku sampai dinyatakan bebas pada 1979.
Ketika G30SPKI pecah, Depok belum menjadi kotamadya tingkat II yang ramai dengan segala hiruk- pikuknya, seperti sekarang.
Di masa itu, Depok masih berstatus kecamatan. Sebagian wilayahnya berada di bawah Kawedanan Parung, sebagian lagi di Kawedanan Cibinong, Kabupaten Bogor.
Kawedanan merupakan wilayah administrasi di bawah kabupaten dan di atas kecamatan yang dipimpin oleh seorang Wedana, orang kepercayaan Bupati.
Kondisi tata ruang Depok waktu itu pun jauh berbeda dengan sekarang. Belum ada Jalan Raya Margonda, Masjid Kubah Emas Dian A Mahri, Mall Margo City, Taman Lembah Gurame ataupun alun-alun.
Belum belum ada juga ojek online, mobil dan motor, apalagi macet.
Depok di masa G30SPKI masih dipenuhi hutan dan rawa. Setiap desa, hanya memiliki 8 sampai 10 rumah. Jarak antar rumah bisa mencapai 400-600 meter.
Menurut Data Referensi Kementerian Pendidikan, kini Depok punya 1.132 sekolah setingkat SD, SMP, SMA dan SMK.
Namun di masa G30SPKI, jumlah sekolah di Depok masih terhitung dengan jari. Itu pun hanya mampu dijangkau oleh masyarakat dari kalangan ekonomi menengah ke atas.
Jumlah sekolah yang sedikit, berdampak pada tingginya tingkat buta huruf di masyarakat Depok waktu itu. Tetapi, buta huruf yang dimaksud terbatas pada aksara latin. Sementara literasi masyarakat tentang huruf arab, jauh lebih baik.
“Orang-orang tua sampai kakek-nenek Baba itu bisa ngaji, tapi gabisa baca,” ungkap Baba.
Aksara latin memang belum bisa diterima sepenuhnya oleh warga Depok, terutama yang bersuku Betawi di masa itu. Pasalnya, aksara latin identik dengan penjajah yang lama menyengsarakan hidup mereka.
“Jadi bencinya sampe ke situ-situ (huruf latin),” imbuh Baba.
Mayoritas masyarakat Depok saat itu bertani, lalu sebagian lainnya berdagang ke daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Karena berdagang ke wilayah di arah Selatan, penduduk yang pulang berdagang biasa disebut pulang mudik. Sebaliknya, penduduk yang berangkat berdagang disebut milir.
“Mudik itu selatan. Makanya agak salah kaprah kalau sekarang mudik itu dibilang pulang ke kampung,” sambung Baba.
Jangankan anak muda yang nongkrong di Café, pasar rakyat yang kini ramai setiap hari hanya buka 2 kali seminggu pada masa itu.
Pasar yang lengkap menjual kebutuhan sehari-hari masyarakat buka setiap Selasa dan Kamis, mulai pukul 05.00 WIB atau habis subuh sampai pukul 10.00 WIB.
Salah satu pasar di masa itu yang masih ada sampai saat ini adalah pasar di Jalan Dewi Sartika, Kecamatan Pancoran Mas.
Dulu hanya ada satu toko yang agak lengkap dan buka setiap hari di Pasar Dewi Sartika, yaitu Toko Pa Thung. Toko Pa Thung yang dulu sangat terkenal, milik seorang keturunan Tionghoa Bernama Pa Thung.
“Jadi masyarakat yang ingin belanja di hari selain Selasa dan Kamis, hanya bisa membeli kebutuhan sebatas yang disediakan Toko Pa Thung,”
Baba memastikan, tidak ada aksi kejam khas pemberontak yang dilakukan anggota PKI di Depok.
Tidak ada juga aktivitas mereka yang membuat warga takut, apalagi sampai mengancam keselamatan mereka, seperti yang diberitakan media massa.
Sejauh yang Baba tahu, PKI hanya sebuah partai politik (parpol) yang aktif menggalang dukungan dari masyarakat. Bahkan, PKI termasuk salah satu partai yang berkuasa kala itu.
Karena masuk dalam lingkaran pemerintahan, keributan yang membawa nama PKI biasanya sebatas beda pendapat antara PKI dengan parpol lain seperti Masyumi, Partai Nasional Indonesia (PNI) atau Partai Nahdatul Ulama (NU).
Bukannya membantai, PKI justru dikenal loyal dalam urusan merawat dukungan masyarakat. Mereka rutin membagikan sembako seperti gula, terigu dan beras untuk konstituennya.
"Kalau kata info yang beredar, kan katanya PKI melakukan pembantaian terus berlawanan dengan ajaran agama. Mungkin itu di daerah lain, di sini gak ada itu,” kenang Baba.
Ketimbang PKI, warga Depok di masa itu justru lebih takut pada gerombolan preman bekas pejuang kemerdekaan.
Mereka memeras dan merebut paksa uang dan hewan peliharaan warga.
Preman ini terdiri dari masyarakat pribumi yang ikut berperang melawan penjajah, tapi tidak mau dan atau tidak bisa bergabung dengan Tentara Keaman Rakyat (TKR).
“Kan dulu ada pasukan yang namanya PETA, KNIL dan lain-lain. Setelah merdeka, mereka ini ditata untuk masuk dalam TKR. Tapi banyak yang tidak mengurus administrasinya,”
Satu-satunya saluran informasi di masa itu adalah radio kayu setinggi hampir 50 centimeter. Karena harganya yang sangat mahal. Radio hanya dimiliki sebagian kecil masyarakat.
Seluruh Informasi yang diterima masyarakat, termasuk peristiwa G30SPKI hanya dapat diakses melalui radio.
Baba mendapat kabar tentang peristiwa G30SPKI dari radio, beberapa hari setelah kejadian.
Kabar yang Dia dengar berupa laporan dari Jenderal A.H. Nasution tentang pemakaman 7 jenderal yang dibunuh dalam pemberontakan dilakukan PKI.
Dari siaran Jenderal A.H. Nasution, diketahui bahwa ketujuh jenderal yang dibunuh, ditemukan terkubur dalam sebuah lubang di daerah Pondok Gede.
Lubang penemuan 7 jasad jenderal, kini dikenal sebagai Lubang Buaya.
Setelah ditemukan, jasad mereka akan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, Kalibata, Jakarta Selatan.
Baba mendengar info ini beramai-ramai dengan warga yang lain di rumah satu-satunya tetangga yang memiliki radio saat itu, Bani.
Sebelum disiarkan di radio, sudah ada desas-desus di masyarakat tentang usaha PKI merebut kekuasaan secara paksa di malam G30SPKI.
Namun karena akses informasi yang terbatas, masyarakat tidak dapat memastikan kebenaran desas-desus yang beredar.
Akibatnya, banyak warga yang bingung dan gelisah. Mereka takut perang akan kembali pecah di Indonesia.
Kegelisahan warga makin menjadi karena tidak kunjung ada penjelasan dari Presiden Soekarno terkait situasi nasional yang termutakhir.
“Kalau Bung Karno udah ngomong biasanya warga tenang, tapi waktu itu gak ada. Sampai warga bertanya-tanya, ‘ini pemimpin kita kemana?”
Peristiwa G30SPKI menjadi tonggak sejarah yang menandakan peralihan rezim pemerintahan dari orde lama di bawah pimpinan Presiden Soekarno ke orde baru di bawah Presiden Soeharto.
Selain menjadi berdampak pada politik nasional, peristiwa ini juga memberi “pukulan telak” pada ekonomi negara. Pukulan ini membuat rakyat menderita selama beberapa tahun ke depan.
“Dari 1965 pasca G30SPKI sampai 1970an ibaratnya rakyat tu sengsaranya setengah modar,” beber Baba.
Sebetulnya, kondisi ekonomi masyarakat memang belum stabil pasca kemerdekaan. Pemerintah sampai pernah memotong nilai Rupiah pada 1963. Uang yang awalnya bernilai 10.000, turun nilai menjadi 1.000.
Peristiwa G30SPKI hanya memperburuk keadaan.
Kesengsaraan masyarakat Depok saat itu antara lain, langkanya bahan pokok seperti beras dan minyak tanah. Sehingga terjadi kelaparan di mana-mana.
Menurut Baba, pasokan bahan pokok sebelum G30SPKI dikuasai oleh petinggi negara yang Sebagian besar merupakan kader-kader PKI. Rantai pasok ini berantakan karena upaya pemerintah menumpas PKI.
Sebab, penguasa bahan pokok sebelumnya, PKI, sudah diburu dan tidak bisa mengamankan rantai pasoknya lagi. Padahal, belum ada penguasa bahan pokok penggantinya yang cukup kuat.
Kondisi masyarakat saat itu terasa lebih berat karena sistem pertanian belum secanggih sekarang. Padi hanya bisa dipanen 4-6 bulan sekali, bukannya 3 bulan sekali seperti sekarang.
Karena waktu panen yang lama, akhirnya persediaan masyarakat lebih dulu habis sebelum datang musim panen selanjutnya.
Demi mengatasi kelangkaan beras dan kelaparan, pemerintah sampai mengimpor bulgur dari Amerika. Bahkan, menerima sumbangan bulgur juga dari Australia untuk makanan pokok masyarakat .
Bulgur biasanya dimanfaatkan untuk pakan kuda, terbuat dari gandum yang ditumbuk dan dikeringkan.
Bukannya memberi solusi, impor bulgur justru mendatangkan persoalan baru, yaitu malnutrisi atau kurang gizi.
Malnutrisi menjangkit masyarakat Karena tidak ada kandungan nutrisi dalam bulgur.
Alternatif makanan pokok selain bulgur hanya nangka landa (sirsak) atau pisang muda, sama-sama tidak mengandung nutrisi yang cukup untuk tubuh masyarakat.
“Dulu tu sampai banyak anak-anak yang kepalanya gede, tapi badannya kecil karena kurang gizi,” ungkap Baba.
Titik balik perbaikan nasib masyarakat Depok dimulai sekitar tahun 1973. Ini ditandai dengan dimulainya proyek pembebasan lahan warga Depok untuk pembangunan Universitas Indonesia (UI).
Kondisi terus membaik dengan adanya pembangunan pemukiman warga oleh Perumahan Nasional (Perumnas) mulai 1974 yang kemudian mulai dihuni pada 1976.
“Membaiknya karena tanah masyarakat dibayar waktu pembebasan lahan. Terus, makin banyak orang kan makin tinggi aktivitas ekonominya,” kata Baba.
Bukan hanya faktor pembangunan fisik, kondisi masyarakat juga membaik berkat pembangunan non fisik yang dilakukan Presiden Soeharto.
Diantaranya, berkat Presiden Soeharto membina petani sekitar tahun 1970-an.
Masyarakat yang tadinya bercocok tanam tanpa tata cara yang benar, diberi penyuluhan dan diberi pupuk untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produksinya.
Sejak pembinaan inilah masyarakat mulai bisa memanen ladangnya 3 sampai 4 kali per tahun.
Baba menyebut, tidak ada monumen atau peristiwa bersejarah tentang G30SPKI di Depok.
“Depok lingkupnya masih kecil waktu itu. Cuma kecamatan. Jadi wajar kalau orang sini gak banyak ikut andil (dalam peristiwa G30SPKI),” pungkas Baba.
Kontributor : Immawan Zulkarnain