Pada sekitaran abad ke 11, Islam berhasil menghancurkan kerajaan tersebut beserta seluruh umatnya, dan candi-candinya serta mengislamkan hampir seluruh rakyat Sunda. Para Brahmana berhasil melarikan diri ke pegunungan yang terpencil.
Sampai pada waktu itu mereka mengucilkan diri segala pengaruh dunia luar. Tak ada orang yang boleh menginjak daerah mereka dari sini, mereka dikenal dengan nama suku Badui.
Berjalannya waktu, batu nisa itu telah digunakan masyarakat untuk membuat rumah mereka. Serta tanah mereka rubah menjadi perkebunan dan pertanian yang bermanfaat. Namun pohon-pohon beringin yang masih berdiri angker disana tetap mengingatkan masyarakat tentang tanah tersebut.
Setelah berakhirnya perang Dunia ke satu, dua bersaudara asal Jerman, Emil serta Theodor Helfferich membeli 900 hektar tanah, dimana mereka mendirikan perkebunan serta pabrik teh mereka.
Baca Juga:LBH Menilai Keterlibatan Kapuslabfor Dalam Skenario Ferdy Sambo Menambah Buruk Citra Polri
Mereka juga mendirikan bangunan-bangunan lain didaerah dengan ketinggian 900 meter diatas permukaan laut tersebut. Kakak tertua mereka Karl Helfferich pernah menjabat sebagai Wakil Kanselir Jerman dibawah Kanselir Jerman terakhir.
Karena mereka dekat dengan angkatan laut Kekaisaran Jerman serta untuk mengabadikan armada Asia Timur Jerman dibawah laksamana Graf Spee yang ditenggelamkan oleh armada dari Britania Raya. Mereka mendirikan sebuah prasasti dibawah pohon-pohon kramat tersebut.
Sebagai penghormatan kepada kebudayaan tuan tanah Pasundan, mereka juga mendirikan patung Budha dan patung Ganisha yang mengapit prasasti tersebut, berlangsung pada 1 Oktober 1926 yang dihadiri oleh wakil-wakil dari pemerintah Hindia-Belanda, Konsul Jendral Jerman dengan delegasi dari kapal latih penjelajah 'Hamburg' yang merupakan kapal perang pertama, setelah kalah dalan Perang Dunia ke 1 kembali mengunjungi pelabuhan-pelabuhan Hindia-Belanda.
Prasasti tersebut bertuliskan 'Bagi Satuan tempur Jerman-Asia Timur yang gagah berani, 1914'.
Ketika kapal latih penjelajah 'Hamburg' meninggalkan Pulau Jawa, ada satu orang awak kapal yang tidak ada Obermatrose meninggal pada suatu kecelakaan dan dimakamkan dengan penghormatan secara militer di tempat suci ini.
Baca Juga:Lampu Penerangan Jalan di Kebon Jeruk Mati, Jalanan Mendadak Gelap
Pada tahun 1943 perang Dunia II sedang berkecamuk dan di Indonesia berada di kekuasaan Jepang. Jerman dan Jepang mendirikan pangkalan laut bersama di Jakarta. Pimpinan pangkalan tersebut saat itu adalah Kolonel Al Hermann Kandler.