Andi Ahmad S
Kamis, 17 Juli 2025 | 15:20 WIB
Foto udara kondisi jembatan Ciliwung yang putus akibat meluapnya sungai Ciliwung di Desa Jogjogan, Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. (ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/foc.)

SuaraBogor.id - Banjir yang kembali merendam sebagian wilayah Jakarta dan Bekasi beberapa waktu lalu bukanlah sekadar fenomena alam biasa.
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) secara tegas menunjuk kerusakan ekosistem di kawasan Puncak, Bogor, sebagai penyebab utamanya.

Alih fungsi lahan yang masif dan tidak terkendali di daerah hulu disebut menjadi biang keladi dari bencana yang terus berulang. Bagi warga Jakarta dan sekitarnya, Puncak Bogor seringkali menjadi destinasi liburan.

Namun di balik udaranya yang sejuk, sebuah bom waktu ekologis terbukti menjadi ancaman nyata. Temuan ini diungkap setelah serangkaian investigasi lapangan oleh tim KLH.

"Hasil pengawasan lapangan KLH/BPLH mengungkapkan bahwa penyebab utama bencana adalah kerusakan ekosistem hulu secara masif akibat alih fungsi lahan yang tidak terkendali, lemahnya pengendalian tata ruang, serta menjamurnya bangunan tanpa persetujuan lingkungan yang sah," kata Menteri Lingkungan Hidup (LH)/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH), Hanif Faisol Nurofiq, dilansir dari Antara, Kamis 17 Juli 2025.

Alarm Keras dari Hulu Ciliwung

Rangkaian bencana banjir dan longsor yang terjadi pada 2 Maret serta 5-9 Juli 2025 di kawasan Puncak menjadi pengingat keras akan kondisi darurat di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung dan Cileungsi.

Bencana tersebut tidak hanya merugikan secara materi, tetapi juga merenggut nyawa.

  • Tiga orang dilaporkan tewas dan satu orang masih hilang.
  • Tujuh desa di Kecamatan Cisarua dan Megamendung mengalami kerusakan parah.
  • Efeknya menjalar hingga ke wilayah hilir, menyebabkan banjir di Jakarta dan Bekasi.

Menteri Hanif menyoroti bagaimana banyak bangunan komersial dan vila justru berdiri di atas lahan Hak Guna Usaha (HGU) milik PT Perkebunan Nusantara I Regional 2 (eks PTPN VIII), sebuah ironi mengingat kawasan tersebut seharusnya dilindungi oleh Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup (DELH) sejak 2011.

Puluhan Perusahaan Dihukum, Izin Dicabut Paksa

Baca Juga: Buntut Banjir Puncak Bogor, KLH Bongkar Paksa Bangunan dan Ancam Pidana Pelanggar Lain

Menghadapi situasi darurat ini, KLH/BPLH tidak tinggal diam. Langkah hukum yang tegas diambil dengan menyasar 21 pelaku usaha yang dianggap bertanggung jawab atas perusakan lingkungan.

Dari jumlah tersebut, delapan perusahaan menghadapi sanksi berat berupa pencabutan persetujuan lingkungan.

Perusahaan-perusahaan yang persetujuan lingkungannya tumpang tindih dengan DELH milik PTPN I Regional 2 dan kini berada di bawah evaluasi ketat adalah:

  • PT Pinus Foresta Indonesia
  • PT Jelajah Handal Lintasan (JSI Resort)
  • PT Jaswita Lestari Jaya
  • PT Eigerindo Multi Produk Industri
  • PT Karunia Puncak Wisata
  • CV Pesona Indah Nusantara
  • PT Bumi Nini Pangan Indonesia
  • PT Pancawati Agro

Bupati Bogor telah mengonfirmasi akan mencabut izin tiga perusahaan, yaitu PT Bumi Nini Pangan Indonesia, PT Jaswita Lestari Jaya, dan PT Pancawati Agro. Lima perusahaan lainnya masih dalam proses evaluasi oleh dinas terkait.

Ultimatum untuk Bupati Bogor dan Pelanggaran Berat Terungkap

Menteri LH Hanif Faisol Nurofiq telah melayangkan surat resmi pada 24 April 2025, memberikan ultimatum 30 hari kerja kepada Bupati Bogor untuk menuntaskan pencabutan seluruh izin bermasalah tersebut.

Jika tenggat waktu diabaikan, KLH akan mengambil alih kewenangan pencabutan izin secara langsung.

Evaluasi teknis KLH/BPLH di lapangan menemukan daftar pelanggaran yang mengejutkan, antara lain:

  • Membuka lahan di dalam kawasan taman nasional, sebuah pelanggaran mutlak.
  • Tidak adanya sistem pengelolaan air larian (run-off), menyebabkan air hujan langsung meluncur ke sungai tanpa serapan.
  • Pengabaian standar lingkungan, seperti tidak adanya pengukuran kualitas udara, air limbah, dan kebisingan.
  • Tidak memiliki fasilitas penyimpanan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).

Salah satu temuan paling fatal adalah operasional PT Pinus Foresta Indonesia yang lokasinya berada di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.

Selain pencabutan izin, 13 pelaku usaha lain dikenai sanksi administratif paksaan pemerintah, termasuk nama-nama besar seperti PT Taman Safari Indonesia dan PT Bobobox Aset Manajemen.
Mereka diwajibkan menghentikan aktivitas, membongkar bangunan, dan memulihkan lingkungan dalam batas waktu yang ditentukan.

"KLHS menjadi acuan penting agar tata ruang tidak bertentangan dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan serta mampu mencegah bencana ekologis yang berulang," tegas Hanif Faisol Nurofiq.

Load More