Andi Ahmad S
Selasa, 26 Agustus 2025 | 18:23 WIB
Ilustrasi korupsi (unsplash/Fikry Anshor)

SuaraBogor.id - Di balik setiap proyek properti yang megah, seringkali tersimpan cerita yang tak terlihat oleh publik. Kali ini, nama besar dari dunia properti.

Yakni PT. Anugerah Kreasi Propertindo, terseret ke dalam pusaran kasus dugaan gratifikasi senilai Rp3 Miliar yang kini menjerat Kepala Desa Cikuda, Parungpanjang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Kasus ini membuka kotak pandora tentang bagaimana praktik "uang pelicin" diduga menjadi jalan pintas bagi perusahaan untuk memuluskan kepentingan bisnis pertanahan mereka di tingkat desa, sebuah area yang krusial namun rawan penyalahgunaan wewenang.

Jika dalam banyak kasus korupsi nama perusahaan seringkali masih samar, kali ini pihak kepolisian secara gamblang menyebutkan identitas korporasi yang diduga terlibat.

Kapolres Bogor, AKBP Wikha Ardilestanto, mengonfirmasi bahwa pemeriksaan terhadap Kades Cikuda (AS) berkaitan langsung dengan transaksi jual beli tanah yang dilakukan oleh perusahaan tersebut.

"Diduga dilakukan oleh Kepala Desa Cikuda terhadap pembeli tanah dari perusahaan PT. Anugerah Kreasi Propertindo," kata AKBP Wikha Ardilestanto kepada wartawan.

Pernyataan ini menempatkan perusahaan tidak hanya sebagai saksi, tetapi sebagai pihak sentral yang menjadi sumber dari dugaan aliran dana gratifikasi.

Uang senilai Rp3 Miliar itu diduga kuat diberikan untuk "memperlancar" proses penerbitan dokumen-dokumen penting terkait objek tanah yang mereka akuisisi.

Modus 'Pelicin' Dokumen: Mengapa Kades Jadi Kunci?

Baca Juga: Dugaan Gratifikasi Rp 3 Miliar Guncang Bogor, Kades Cikuda Diperiksa Terkait Jual Beli Tanah

Dalam bisnis properti skala besar, seorang kepala desa memegang posisi yang sangat strategis. Mereka adalah "gerbang" pertama dalam administrasi pertanahan.

Tanda tangan dan stempel seorang Kades dibutuhkan untuk berbagai dokumen awal, seperti:

  • Surat Keterangan Tidak Sengketa
  • Surat Rekomendasi Izin Lokasi
  • Pengesahan Akta Jual Beli (AJB) di tingkat desa

Tanpa "lampu hijau" dari kepala desa, proses akuisisi lahan oleh pengembang bisa terhambat, bahkan gagal total. Celah inilah yang diduga dimanfaatkan dalam kasus ini, di mana wewenang tersebut ditukar dengan imbalan uang dalam jumlah fantastis.

Kasus ini bukan lagi sekadar desas-desus. Ditkrimsus Polda Jawa Barat telah memberikan sinyal kuat bahwa ada sesuatu yang sangat salah dalam transaksi ini.

Setelah melakukan gelar perkara, Polda Jabar secara resmi menyatakan telah menemukan adanya peristiwa pidana.

"Sudah dilaksanakan Gelar Perkara di Krimsus Polda Jabar dan dinyatakan ditemukan peristiwa pidana sehingga diterbitkan rekomendasi untuk peningkatan proses penanganan perkara dari Lidik ke Sidik," jelas AKBP Wikha.

Load More