Andi Ahmad S
Senin, 29 September 2025 | 11:02 WIB
Ilustrasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). [Suara.com/Alfian Winanto]
Baca 10 detik

KPK sita aset properti eks Staf Ahli Menaker di Depok dan Bogor terkait kasus dugaan pemerasan RPTKA.


Kasus ini libatkan delapan tersangka Kemenaker, peroleh Rp53,7 M dari pemerasan RPTKA kurun 2019–2024.


Dugaan pemerasan RPTKA terjadi masif melintasi tiga periode kepemimpinan Menaker sejak 2009 hingga 2024.

SuaraBogor.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menunjukkan taringnya dalam memberantas korupsi di Indonesia.

Kali ini, sorotan tertuju pada Depok dan Bogor, dua wilayah satelit Jakarta yang padat dan terus berkembang.

KPK baru-baru ini menyita dua aset properti dari Haryanto, mantan Staf Ahli Menteri Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Internasional era Menaker Yassierli.

Langkah tegas ini menjadi bagian dari pengembangan kasus dugaan pemerasan dalam pengurusan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) di lingkungan Kemenaker yang telah merugikan negara miliaran rupiah.

Penyitaan aset yang dilakukan pada pekan lalu ini secara spesifik menyasar properti di jantung kota penyangga.

"Aset tersebut berupa bidang tanah atau bangunan, yaitu kontrakan seluas 90 meter persegi di wilayah Cimanggis, Kota Depok, dan rumah seluas 180 meter persegi di wilayah Sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat," ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo.

Dua properti ini diduga menjadi bagian dari "harta haram" yang diperoleh Haryanto dari praktik korupsi.

Memiliki properti di Cimanggis, Depok, dengan aksesibilitas ke Jakarta, atau rumah di Sentul, Bogor, yang dikenal dengan kawasan hunian modern dan fasilitas lengkap, seringkali menjadi impian banyak kaum urban.

Namun, dalam kasus ini, properti tersebut diduga dibeli secara tunai menggunakan uang hasil dugaan tindak pemerasan dan bahkan diatasnamakan kerabat untuk menyamarkan kepemilikan.

Baca Juga: Horor di Jalan Cibadak Ciampea: Lalin Bogor Barat Lumpuh Berjam-jam, Ini Penyebabnya!

Penyitaan ini merupakan kelanjutan dari penyelidikan kasus RPTKA yang kompleks.

Budi menjelaskan penyitaan yang dilakukan pada pekan lalu itu terkait kasus dugaan pemerasan dalam pengurusan rencana penggunaan tenaga kerja asing atau RPTKA di lingkungan Kemenaker.

Haryanto sendiri adalah satu dari delapan orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini.

Kasus ini menggambarkan bagaimana sebuah sistem birokrasi dapat disalahgunakan untuk keuntungan pribadi.

KPK menjelaskan bahwa RPTKA merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh tenaga kerja asing agar dapat bekerja di Indonesia.

Apabila RPTKA tidak diterbitkan Kemenaker, penerbitan izin kerja dan izin tinggal akan terhambat sehingga para tenaga kerja asing akan dikenai denda sebesar Rp1 juta per hari.

Load More