Tapi di medsos digalanglah opini untuk menghukum.
Tokoh pun kadang ikut ikut sensitif menghadapi dinamika perbedaan pendapat ini. Saya sebagai pengajar dan penyeru kebebasan berpendapatpun seakan jg dibatasi oleh sensitivitas berdasar kebenaran semu itu. Sekarang restriksi kebebasan berpendapat muncul justru dari sensitifitas sosial. Fanatisme Sosial, baik terhadap orang ataupun terhadap kelompok. Siapapun akan diserang jika tidak sepikiran, atau sepihak, itu berlaku untuk siapapun, termasuk saya.
Pendapat dan kritik yang sebenarnya hal biasa langsung direaksi keras dan beragam. Beberapa kali ini terjadi, tapi bagi saya itu menjadi pelajaran agar tetap melontarkan pendapat pendapat yang menggelitik, kadang sengaja saya lakukan untuk melihat reaksi dan sensitifitas netizen.
Sekaligus bagian dari perjuangan mempertahankan hak untuk bisa terus berpendapat tanpa tekanan dari siapapun.
Baca Juga:Savage Level Bu Susi! Jawabannya saat Diserang Dewi Tanjung Tuai Pujian
Sayangnya kalau ada status yang informatif bahkan ilmiah, malah tidak menarik, tidak banyak yang menanggapi. Tapi kalau berisi kritikan pada tokoh langsung ramai, dan banyak yang tersengat dan ribut membela atau ikut meramaikan.
Kasus terakhir adalah pendapat saya yang dianggap menyerang atau ad hominem ke Bu Susi. Padahal yang saya sampaikan itu adalah hal biasa. Bahkan bisa diinterpretasi positif saat status saya itu menilai dan menganalisis suatu kasus.
Ini dia status saya di Twitter yang kemudian menghasilkan serangan, bermacam-macam terhadap pribadi saya.
Ini isinya:
“Ada tokoh yg sekolah gak tamat, tp jabatannya melambung, dan perusahaanya untung. Kemarin jabatannya diganti orang yg kebijakannya gak nyambung, tambah perusahaan miliknya lg buntung. Logislah lalu bermanuver politik, siapa tahu 2022/2024 kembali beruntung.”
Baca Juga:Diancam Ditenggelamkan Dewi Tanjung, Susi Pudjiastuti Kasih Respons Satire
Tweet ini banyak yang mendukung tapi banyak juga yang mengecam, malah beberapa wartawan sempat menyampaikannya secara pribadi. Mereka bilang saya melakukan “ad hominem”, saya dianggap iri, saya menjilat, saya terlalu bangga dengan gelar dan lain lain.
Saya hanya ketawa.
Pendapat itu sah sah saja. Tapi di balik itu Intinya saya tidak boleh berpendapat yang mereka tidak suka, seperti itu. OK yuk kita bahas satu persatu kalimat saya tadi.
1. “Ada tokoh yang sekolah gak tamat, tapi jabatannya melambung, dan perusahaanya untung”.
Apa kalimat ini salah? Apa kalimat ini tidak etis? Apa kalimat ini menuduh atau menyerang? Apa itu tidak berdasar fakta? Jawabannya adalah “tidak”, bahkan kalimat itu justru berarti positif. Yaitu ada orang yang memang tidak tamat sekolahpun masih bisa mendapat jabatan melambung, atau jabatan yg tinggi, karena dipandang memiliki prestasi, atau kelebihan yg lain.
Bisa diinterpretasi seperti itu. Ini berarti positif dong! Bukan ad hominem serangan pada karakter pribadi seseorang, dengan sesat pikir. Yang gak pahamlah yang justru terlalu berlebihan prejudice-nya. Karena memang ada fakta demikian.