SuaraBogor.id - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo dianugerahi gelar kehormatan Doktor Honoris Causa dan Institut Pertanian Bogor (IPB).
Gelar kehormatan tersebut diberikan kepada Doni Monardo dalam bidang ilmu pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan.
IPB memberikan gelar doktor honoris causa kepada Doni Monardo yang dinilai berdedikasi dan berjasa dalam penyelamatan lingkungan.
Terkait hal itu, Doni Monardo menyampaikan orasi berjudul Model Tata Kelola Sumber Daya Alam dan Lingkungan saat menerima gelar kehormatan, Sabtu (27/3/2021).
Baca Juga:2.500 Orang Meninggal di Pulau Buru Maluku, Darah Warga Mengandung Merkuri
Berikut pidato lengkap Doni Monardo.
Bismillahirrahmanirrahim,
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Salam sejahtera bagi kita semuanya, Om Swastiastu, Namo Buddhaya, Salam Kebajikan.
Yang terhormat, Ketua, Sekretaris, dan Anggota Majelis Wali Amanat IPB University
Yang terhormat, Ketua, Sekretaris dan Anggota Senat Akademik IPB University,
Yang terhormat, Ketua, Sekretaris, dan Anggota Dewan Guru Besar IPB University,
Yang terhormat, Rektor dan Wakil Rektor IPB University,
Yang terhormat, Dekan dan para Wakil Dekan di lingkungan IPB University,
Yang terhormat, Menko PMK, Prof. Muhadjir Effendi
Yang saya hormati Wamen LHK, Bpk. Alue Dohong
Yang saya hormati Para Pimpinan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Yang saya hormati Para Pakar, Peneliti, dan Akademisi.
Yang saya banggakan keluarga besar BNPB dan BPBD. Para kolega, sahabat, relawan, pegiat lingkungan, dan teman-teman media yang mengikuti orasi ini melalui Zoom dan video streaming.
Sidang Terbuka Senat Akademik IPB University yang saya muliakan,
Di pagi yang sejuk ini, ijinkan saya menyampaikan Orasi Ilmiah dalam rangka penganugerahan gelar Doktor Kehormatan di Bidang Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, dengan judul:
MODEL TATA KELOLA SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN
Hadirin yang saya muliakan
Marilah kita mengucapkan rasa syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan yang maha kuasa karena kita masih diberikan kesempatan untuk hidup dan bernafas dari oksigen yang dihasilkan oleh tanaman di sekitar kita.
Pengalaman bertahun-tahun berlatih di hutan dan penugasan operasi militer di beberapa daerah membuat saya mengenali banyak jenis tanaman. Sehingga saya berkomitmen untuk menanam, merawat dan melestarikan tanaman di mana pun saya berada.
Baca Juga:Doni Monardo Geram Banyak Turis Langgar Protokol Kesehatan di Bali
Dimulai dengan menanam pohon di Asrama Brigif Para Raider III/Tri Budi Sakti Kostrad yang tandus, di Kariango, Sulawesi Selatan, yang merupakan sumbangan dari alm. Andi Tendri Onigapa, pimpinan Panin Peduli Makassar. Dilanjutkan dengan pembibitan Trembesi, serta menanamnya di banyak tempat di Sulawesi Selatan termasuk di Lapangan Karebosi dan Bandara Sultan Hasanuddin. Berkomitmen untuk melanjutkan program ini dengan mencanangkan slogan yang terpampang di kebun Bibit Brigif Para Raider III/Tri Budi Sakti Kostrad Kariango pada tahun 2008 “Dari Kariango Ikut Hijaukan Indonesia”.
Setelah pindah ke Paspampres di Jakarta, komitmen itu saya buktikan dengan membuat kebun bibit trembesi di Cikeas akhir November 2008, dan pada peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 2009, bibit trembesi dibagikan di Istana Merdeka.
Selanjutnya, tahun 2010 saya mengembangkan kebun bibit di Rancamaya. 100.000 bibit trembesi ditanam di wilayah Bogor, Cianjur dan Sukabumi, dan DKI Jakarta termasuk di sepanjang Kota Kudus, Jawa Tengah.
Kemudian 100.000 bibit Sengon dibagikan secara gratis kepada masyarakat termasuk warga terdampak erupsi Gunung Merapi di Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Setahun kemudian, saya mendirikan Paguyuban Budiasi di Sentul di lahan pinjaman milik alm. Ketut Masagung. Budiasi kependekan dari Budidaya Trembesi, nama pemberian Bapak SBY, Presiden Republik Indonesia saat itu. Sampai hari ini Paguyuban Budiasi telah memproduksi lebih dari 20 juta pohon, terdiri dari 150 jenis pohon termasuk tanaman langka, yang dibagikan ke berbagai daerah termasuk Timor Leste.
Beberapa pejabat tinggi negara dan kepala daerah sempat berkunjung ke kebun bibit Budiasi, termasuk Bapak Jokowi, saat menjabat Gubernur DKI Jakarta pada Januari 2014.
Tahun 2017, ketika Presiden Jokowi berkunjung ke Maluku, Beliau sempat menyinggung soal kebun bibit. Saya jelaskan bahwa kebun bibit masih ada bahkan sudah berkembang, Presiden Jokowi juga meminta saya membuatnya di Maluku.
Hadirin yang saya hormati,
Saya ingin menggaris bawahi mengapa saya tertarik dengan trembesi. Ketika bertugas di Paspampres mulai tahun 2001 dari era kepemimpinan Presiden Gus Dur, Ibu Megawati, hingga Bapak SBY, saya banyak berkunjung ke berbagai daerah. Saya amati, di sekitar bangunan pemerintah peninggalan Belanda, setidaknya ada tiga jenis pohon yaitu: Trembesi, Asam, dan Beringin.
Diperkuat dengan hasil penelitian Dr. Endes N. Dahlan, Dosen Fakultas Kehutanan IPB, yang mengatakan bahwa pohon Trembesi adalah penyerap polutan terbaik. Satu pohon Trembesi yang lebar kanopinya telah mencapai 15 m, mampu menyerap polutan atau gas CO2 sebanyak 28,5 ton per tahun.
Pohon ini termasuk jenis tanaman “die hard”. Dapat tumbuh di tempat yang tandus dan di tempat yang lembab atau basah, di daerah tropis yang tumbuh hingga ketinggian 600 meter diatas permukaan laut. Oleh sebab itu sangat cocok untuk penghijauan kota.
Selain Trembesi, saya juga membudidayakan pohon endemik langka Indonesia lainnya seperti Ulin, Eboni, Torem, Palaka, Rao, Cendana, dan Pule yang sudah sulit ditemukan.
Pohon Palaka saya jumpai di Maluku. Usia pohonnya diperkirakan 400 tahun, dengan keliling banir sekitar 30 rentang tangan orang dewasa, dan ketinggiannya mencapai 40 meter. Demikian juga Pule yang saya temukan di Markas Lantamal Ambon. Diameter batangnya lebih dari 3 meter. Dengan ketinggian sekitar 30 meter. Pohon ini mungkin menjadi salah satu saksi sejarah kejadian gempa dan tsunami yang melanda Ambon pada tahun 1674 sesuai dengan tulisan Rumphius.
Berkat pengetahuan tentang tanaman, saya banyak terbantu ketika ditugaskan sebagai Kepala BNPB. Untuk mitigasi daerah longsor dengan kemiringan lereng diatas 30 derajat, bisa menanam beberapa jenis pohon berakar kuat seperti Sukun, Aren, Alpukat, dan Kopi. Untuk lahan rawan longsor dengan kemiringan yang lebih curam, bisa ditanam Vetiver atau akar wangi.
Untuk menghindari kerusakan akibat kebakaran hutan dan lahan, bisa menanam pohon Laban, Sagu, dan Aren.
Untuk mereduksi dampak tsunami, bisa menanam pohon Palaka, Beringin, Butun, Nyamplung, Bakau, Waru, Jabon, Ketapang dan Cemara Udang yang memiliki akar kuat.
Artinya, ada banyak jenis vegetasi di tanah air, bila dimanfaatkan secara maksimal, dapat mengurangi risiko timbulnya korban jiwa ketika terjadi bencana. Mitigasi berbasis ekosistem harus menjadi strategi utama kita dalam menghadapi potensi bencana, mengingat Bank Dunia menyebutkan bahwa Indonesia adalah salah satu dari 35 negara dengan tingkat risiko ancaman bencana tertinggi di dunia.
Hadirin peserta sidang terbuka yang mulia,
Sesaat sebelum berangkat ke Maluku untuk menjadi Pangdam XVI/Pattimura, saya dipesan oleh Menteri LHK, Ibu Siti Nurbaya agar bisa membantu mengatasi kerusakan lingkungan akibat penambangan emas liar di Gunung Botak, Pulau Buru, Maluku.
Langkah-langkah yang Saya lakukan adalah meminta tim Kesdam XVI/Pattimura di bawa pimpinan Kolonel dr. Agus untuk mengambil sampel ikan dan biota laut di Teluk Kayaeli, Pulau Buru. Hasilnya, pada beberapa sampel ditemukan kadar merkuri dan sianida yang melebihi ambang batas.
Saya juga meminta dilakukan pemeriksaan darah terhadap warga di sekitar Gunung Botak dan di lokasi pengolahan tambang Merkuri di Negeri Iha dan Negeri Luhu, Seram bagian barat. Hasilnya, sebagian besar penduduk yang diambil darahnya juga memiliki kadar merkuri melebihi ambang batas.
Di sekitar Gunung Botak, sejumlah ternak mati, seperti kambing, kerbau, sapi, bahkan hewan peliharaan seperti anjing. Termasuk laporan ditemukannya buaya mati di sungai dan pantai.
Saya juga mendapatkan laporan bahwa lebih dari 2.500 orang meninggal akibat longsor dan pertikaian selama periode 2010-2015.
Sampai akhirnya Gunung Botak berhasil ditutup pada tanggal 14 November 2015 berkat Kerjasama tim dari KLHK, Pemda, Polda, dan masyarakat, serta media.
Saya juga melaporkan kepada Presiden Jokowi tentang bahaya merkuri bila dibiarkan. Sebab limbah merkuri bermuara ke laut. Ikan dan biota laut lainnya akan tercemar dan tentunya mengakibatkan mereka yang mengkonsumsi akan terganggu kesehatannya dalam jangka panjang.
Bulan Agustus 2017, atas permintaan Menteri LHK dan atas ijin Panglima TNI, Saya diundang mengikuti Rapat di Komisi VII DPR RI, yang membahas RUU pengesahan Minamata Convention on Mercury. Indonesia merupakan salah satu negara yang ikut menandatangani Konvensi Minamata pada 10 Oktober 2013 di Jepang bersama 128 negara lainnya. Hanya saja, saat itu kita belum meratifikasinya.
Saya hadir sebagai satu-satunya perwira militer aktif, dan memberikan masukan dengan menyampaikan hasil penelitian yang kami lakukan dan dampak penggunaan merkuri di masyarakat.
Akhirnya pada tanggal 13 September 2017, Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Minamata melalui UU No. 11 tahun 2017 Tentang Pengesahan Minamata Convention on Mercury.
Hadirin yang mulia,
Ada kalimat “the Hungry man becomes angry man”, artinya orang lapar akan mudah marah. Sehingga saya melakukan strategi penyelesaian konflik, melalui keseimbangan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) dan pendekatan keamanan (security approach).
Masalah kesejahteraan dapat berdampak pada ketidakstabilan sosial dan keamanan. Inilah yang menjadi salah satu akar konflik berkepanjangan di Maluku.
Berbagai upaya rekonsiliasi dan deklarasi damai telah dilakukan. Namun, tidak lama setelah deklarasi damai, konflik kembali terjadi.
Program Emas Biru dan Emas Hijau merupakan upaya memangkas ketimpangan sosial, sehingga berhasil merajut kembali tali persaudaraan pela – gandong yang akhirnya melahirkan Emas Putih, yaitu kerukunan, perdamaian, dan toleransi.
Program emas biru pernah ditinjau langsung oleh Presiden Jokowi pada tanggal 9 Februari 2017. Di atas keramba jaring apung di Teluk Ambon, Beliau bertanya, “untuk apa ini Pak Doni?” Saya jelaskan, keramba-keramba ini adalah “alat bagi kami” prajurit TNI untuk menyelesaikan konflik. Presiden mengatakan, “Ini yang benar..”, sebanyak tiga kali.
Sidang Senat Terbuka IPB University yang terhormat,
Setelah dilantik sebagai Pangdam III/Siliwangi, tanggal 16 November 2017. Saya menerima banyak laporan tentang Citarum, sebagai sungai terkotor di dunia.
Ketika pertama kali memberikan pengarahan kepada staf di Makodam III/Siliwangi, saya sampaikan tentang nama besar “Siliwangi” diberbagai palagan penugasan, baik di dalam maupun luar negeri. Sayang jika nama besar itu hilang karena kita saat ini tidak peduli atas persoalan yang ada di depan mata, yaitu Citarum sebagai sungai terkotor di dunia.
Salah satu 8 Wajib TNI, memuat isi: “Menjadi contoh dan mempelopori usaha-usaha untuk mengatasi kesulitan rakyat sekelilingnya”. Saya katakan, bahwa pada seragam yang dikenakan prajurit Siliwangi, ada simbol Harimau atau Maung. Jangan sampai karena kita tidak berbuat sesuatu, Maung Siliwangi berubah menjadi Meong Siliwangi.
Inilah yang membuat prajurit terbakar dan mendidih darahnya untuk bisa memberikan darma bakti terbaik dalam rangka membantu masyarakat di Jawa Barat.
Kodam III Siliwangi bersama dengan tim Kemenko Marvest dan Pemprov Jabar, serta Polda Jabar di bawah bimbingan Menko Marvest, Bapak Luhut Binsar Pandjaitan berkumpul menghimpun masukan-masukan dari segenap komponen masyarakat, tokoh agama, budayawan, relawan, pegiat lingkungan, bahkan media. Tiada hari libur. Setiap hari kami memikirkan strategi menuntaskan masalah kerusakan ekosistem Citarum.
Nama Citarum Harum dan strategi penanganannya saya usulkan kepada Gubernur Jabar Bapak Ahmad Heriawan dalam perjalanan dari pendopo gubernur menuju Waduk Jatigede pada tanggal 28 November 2017.
Saya juga melaporkan kepada Presiden Jokowi tentang Citarum pada tanggal 4 Desember 2017. Presiden bertanya, “Apa yang dibutuhkan?” Saya menjawab perlunya payung hukum agar TNI bisa tetap ikut membantu memulihkan Citarum.
Akhirnya konsep regulasi yang dimotori oleh Dr. Dini Dewi yang didukung penuh oleh tim hukum Sekretariat Negara terbit melalui Perpres No 15 Tahun 2018, tanggal 15 Maret 2018, kurang dari sebulan setelah Presiden Jokowi mendeklarasikan program Citarum Harum pada tanggal 22 Februari 2018 di Situ Cisanti, salah satu mata air purba di Jabar.
Proses penuntasan Citarum diawali dengan pemeriksaan sampel air yang dipimpin oleh Kakesdam III Siliwangi, Kolonel dr. Is Priyadi, yang hasilnya air Citarum mengandung logam berat seperti Timbal, Cadmium, serta bakteri Salmonella, Ecoli, dan Pseudomonas Areogonosa. Sayang, dr. Is Priyadi telah wafat tahun lalu, meninggalkan jasa abadi bagi pemulihan Sungai Citarum.
Saya juga menugaskan 20 orang Kolonel, untuk mendata permasalahan dari hulu hingga hilir Citarum, sekaligus meminta masukan dari masyarakat bagaimana solusinya.
Saya terinspirasi oleh Lao Tse, seorang filsuf Cina yang hidup semasa era Sun Tzu 500 tahun sebelum Masehi. Salah satu kutipan yang saya ingat adalah:
"Temuilah rakyatmu. Hiduplah dan tinggalah bersama mereka. Berkaryalah dengan mereka. Mulailah dari apa yang mereka miliki. Sampai akhirnya mereka akan berkata 'kami telah mengerjakannya’ "
Selaras dengan ciri prajurit Siliwangi yang dekat dengan rakyat. Ada istilah Pastur, atau Tepas Batur. Istilah ini menjadi modal saya untuk menyampaikan kepada prajurit, kalau kita mau benahi Citarum, maka yang pertama dilakukan adalah mendekati masyarakat, untuk mengubah perilaku. Sehingga para prajurit menginap dan tinggal di rumah-rumah penduduk. Kembalikan budaya luhur urang Sunda yang peduli sumber air, sehingga nama sungai diberi awalan Ci, yang berarti air. Termasuk penghargaan terhadap pohon – pohon besar dengan memberi awalan nama Ki. Seperti Ki Hujan, Ki Gelia, Ki Sereh, Ki Mani’I, dan Ki Tambleg (Baobab).
Air sumber kehidupan, sungai adalah peradaban bangsa. Bagaimana kita bisa dianggap sebagai bangsa yang beradab, ketika mata air kita musnahkan dan sungai kita cemari.
Saya juga mendapat kunjungan dan dukungan dari mantan menteri lingkungan hidup dan kehutanan, bapak Sarwono Kusumaatmadja dan Ibu Erna Witoelar, dan juga tokoh nasional bapak Koentoro Mangkusuboroto yang pernah ditugaskan untuk pemulihan Citarum oleh ITB.
Saya juga menjumpai Menristek Dikti, Bapak Muhammad Nasir untuk memberikan masukan tentang pentingnya perguruan tinggi di Jabar melakukan KKN di DAS Citarum, sehingga Menristekdikti mencanangkan program KKN tematik di Citarum.
Saya juga berkesempatan bertemu dengan Ibu Megawati, Presiden RI yang ke lima, sebelum Beliau menerima penghargaan Doktor Honoris Causa di STPDN. Saya laporkan tentang pemulihan Citarum. Sungai Citarum yang berasal dari nama pohon Tarum, akan tetapi pohon Tarum sudah tidak ada lagi di sepanjang Sungai Citarum. Sampai akhirnya, Paguyuban Budiasi menemukan pembibitan Pohon Tarum di Banyumas.
Saya menerima masukan dan arahan dari Ibu Megawati tentang pentingnya pendekatan budaya dalam menyelesaikan masalah lingkungan.
Berkat kolaborasi para pihak inilah, kualitas air Citarum terus membaik, bahkan laporan harian Kompas menyebutkan bahwa ikan-ikan lokal yang sempat hilang, mulai muncul di Jatiluhur.
Peserta Sidang Terbuka Senat Akademik yang saya muliakan,
Dalam konteks religius, umat Islam tidak hanya diwajibkan menjaga hubungan dengan Allah SWT hablum minallah dan hubungan sesama manusia hablum minannas, tetapi juga hubungan dengan alam, hablum minal ‘alam.
Satu ketika, saya pernah dikunjungi oleh beberapa ahli hukum untuk silaturrahmi. Pada kesempatan itu sambil bergurau Saya mengatakan, “TNI kerap diidentikkan dengan pelanggaran HAM pada masa lalu, lantas Saya bertanya jika terjadi pelanggaran Hak Azazi pohon, Hak Azazi sungai, siapa yang bertanggung jawab?”
Dalam pemikiran Saya, merawat bangsa tidak hanya mengedepankan prinsip democracy (Kedaulatan Rakyat), tetapi juga harus mengedepankan prinsip Ecocracy (Kedaulatan Lingkungan).
Hadirin yang saya Muliakan,Mengakhiri orasi, izinkan saya mengucapkan terima kasih kepada Tim Promotor yang terdiri dari Prof. Anas M. Fauzi, (Dekan Sekolah Paska Sarjana), Prof. Hadi Susilo Arifin, Prof. Widiatmika, Prof. M.H. Bintoro, dan Dr. Suryo Adiwibowo, yang telah mengusulkan pemberian gelar Doktor Kehormatan kepada Rektor IPB University.
Dari lubuk hati yang terdalam, izinkan saya juga menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada Rektor IPB University, Prof. Arif Satria, Majelis Wali Amanat, Senat Akademik, Dewan Guru Besar IPB University yang telah menganugerahi saya Doktor Kehormatan dan memfasilitasi saya melaksanakan orasi ilmiah ini.
Saya akan mempertanggungjawabkan penghargaan dan kepercayaan yang diberikan IPB University kepada saya. Gelar Doktor Kehormatan ini menjadi energi baru bagi saya untuk terus konsisten membantu menyelamatkan lingkungan dan sumber daya alam Indonesia.
Terima kasih juga kepada Prof. Tun Tedja Irawadi, Alm. Prof. Irawadi Jamaran, Dr. Kaswanto, Sdri. Fifi Gus Dwiyanti, Ph.D, Bapak Setyardi Pratika Mulya, M.Si, Saudara Een Irawan Putra, Egy Massadiah, Abdul Muhari, Ph.D, Kolonel Budi Irawan, Kolonel Hasyim Lalhakim, Sdr Denny Wawengkang, Yuhan Subrata, Wayan Budi Sutomo, Haji Saleh, dan teman-teman Paguyuban Budiasi atas waktu dan tenaganya membantu mengumpulkan semua bukti untuk mendukung dokumen usulan penganugerahan Doktor Honoris Causa kepada saya.
Terima kasih kepada keluarga besar Brigif Para Raider III/Tri Budi Sakti Kostrad Kariango, keluarga besar Korem 061/Surya Kencana, keluarga besar Kopassus, keluarga besar Paspampres, keluarga besar Kodam XVI/Pattimura, keluarga besar Kodam III/Siliwangi, keluarga Besar Wantannas, dan keluarga besar BNPB dan BPBD.
Terima kasih yang sangat spesial kepada istri tercinta Santi Arviani, anak-anak, dan menantu yang terus mendukung saya dalam setiap penugasan dimanapun saya berada.
Terakhir, terima kasih kepada seluruh panitia Orasi Ilmiah Doktor Kehormatan ini, yang diketuai Dr. Nurhayati, Direktur Administrasi Pendidikan dan Penerimaan Mahasiswa Baru IPB dan Tim.
Akhir kata, jika masih ada kekurangan pada diri saya, saya mohon maaf sebesar-besarnya kepada hadirin sekalian baik yang hadir di Sidang Terbuka ini, maupun kepada saudara-saudara yang mengikuti secara virtual yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu.
Salam Tangguh, Salam Kemanusiaan.
Kita Jaga Alam, Alam Jaga Kita!
Sekian,
Wabillahi taufik walhidayah
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh
Salam sejahtera bagi kita semuanya,
Om Santi, Santi Santi Om, Namo Buddhaya, Salam Kebajikan.