SuaraBogor.id - Istana Negara pernah mau dibom. Teroris pernah mau ledakan Istana Negara pakai roket. Selain itu ledakan pipa gas di Tangerang.
Hal itu diungkap Mantan teroris Sofyan Tsauri. Serangan itu sedianya akan dilakukan dari tahun 2011 hingga 2012. Sofyan Tsauri menyebut pelakunya adalah teroris Bogor
"Oleh kelompok Parung di Bogor. Mau diroket. Kejadian 2011 - 2012," kata Sofyan Tsauri di acara podcast Deddy Corbuzier.
Sofyan Tsauri juga mengungkapkan jenis senjata yang digunakan Zakiah Aini saat menerobos masuk di Mabes Polri. Senjatanya dibeli dari murid Sofyan Tsauri.
Baca Juga:13 Tahun Jadi Polisi, Ini Penyebab Sofyan Tsauri Berubah Jadi Teroris
"Punya transaksinya. Dibeli ZA 17 Februari 2021. Jadi ada waktu 1,5 bulan untuk persiapkan (aksi)," ungkap Sofyan.
Senjata yang dibeli Zakiah Aini adalah senjata jenis M84 Beretta. Kaliber 4,5. Sudah di-upgrade sampai 900 FS.
"Jarak 1 sampai 2 meter jika kena kepala mati. Tapi kalau jarak lebih 3 meter gak mati," ungkap Sofyan.
Sofyan Tsauri mengaku bersyukur bisa cepat sadar dan kembali ke NKRI. Saat menjadi teroris Sofyan adalah pemasok senjata.
Sekaligus pelatih ikhwan di Aceh. Melakukan cuci otak.
Baca Juga:Ikrar Setia NKRI di Lapas Perempuan Bandar Lampung, Nana Terlibat Bom Panci
Sofyan Tsauri ditangkap dan dihukum penjara 10 tahun.
"Alhamdulillah ditahan di Lapas Cipinang," katanya.
Untuk melakukan cuci otak, Sofyan mengaku hanya butuh waktu 1 jam. Apalagi kalau korbannya punya masalah, sangat cepat prosesnya.
Terbukti anak-anak Aceh kagum dengan cara Sofyan melakukan cuci otak. Mengatakan dunia ini fana.
Kemudian mengutip ayat Al Quran. Sampai mereka rela mati meski membawa bom.
"Ini fakta bukan konspirasi," kata Sofyan Tsauri.
Sofyan Tsauri mengatakan pertama yang membuat orang menjadi teroris adalah ideologi dan paham teroris yang sangat masif.
"Brain washing. Bisa menyasar siapa saja. Siapa pun bisa terpapar. Tidak memandang status sosial dan usia. Demikian dahsyatnya," ungkap Sofyan Tsauri.
Sementara itu, Direktur Deradikalisasi BNPT Prof Irfan Idris mengatakan meski kuantitas aksi teroris di Indonesia menurun tapi kualitasnya naik.
"Melibatkan perempuan dan anak. Tingkat bahayanya," ungkap Irfan Idris.
Teroris menganggap semua kelompok di luar mereka kafir. Bahkan orang tua mereka sekalipun dicap kafir jika tidak mendukung aksi mereka. Menurut Idris akar masalah teroris adalah selalu membungkus sesuatu dengan bahasa tafsiran keagamaan.
Bukan bahasa agama. Oleh kelomok teroris global kemudian memanfaatkan media sosial. Untuk berselancar mencari generasi muda.
Apapun profesinya. TNI, polisi, atau ASN.
"Ini tanda ideologi teroris tidak memiliki merek," katanya.
Idris mengatakan, yang lebih berbahaya adalah ketika teroris mampu merekrut anggota polisi atau TNI. Karena sudah memiliki ilmu merakit senjata.
"Ini yang dicari (teroris)," ungkapnya.