Hari Bumi, Mari Bersama Jaga Fungsi Paru-Paru Dunia

Salah satu bentuk apresiasi tersebut adalah dengan memastikan adanya jaminan hukum dari negara.

Andi Ahmad S
Kamis, 22 April 2021 | 23:23 WIB
Hari Bumi, Mari Bersama Jaga Fungsi Paru-Paru Dunia
Ilustrasi Hari Bumi. (Pexels)

“Di Desa Rantau Kermas, hutan adat menjaminkan sumber air Sungai Batang Langkup untuk memutar turbin Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) yang mengalirkan listrik murah untuk semua warga. Di sana, warga sangat peka terhadap segala pihak asing yang ingin masuk, namun terbuka jika inovasi yang dilakukan tetap bisa menjaga kondisi alam. Desa Rantau Kermas juga membutuhkan waktu panjang untuk mendapatkan pengakuan negara,” ujar Riche.

Riche menambahkan bahwa warga Serampas di Desa Rantau Kermas memiliki lahan kopi dengan minimal luas 3 Ha untuk Kepala Keluarga baru. Bahkan untuk KK lama, lahan kopinya jauh lebih luas mencapai puluhan hektar.

Dengan inovasi pengembangan kopi robusta tersebut, kesejahteraan warga terjaga sekaligus sambil mempertahankan hutan adat mereka. Dalam menghadapi para penjaga bumi ini, Riche mengakui sangat kagum dengan komitmen dan prinsip mereka.

“Pernah suatu hari saya berhadapan dengan Anduang Kartini, satu-satunya perempuan di antara para tokoh Jorong Nagari Simancuang, Nagari Alam Pauh Duo, Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat yang berusia 70 tahun. Beliau berani menyela pembicaraan kami dengan suara keras dan bertanya apakah kami akan menjual kampungnya kepada perusahaan tambang. Ini adalah bukti kecintaan dan peran tulus mereka untuk menjaga alam.”

Baca Juga:Ucapan Hari Bumi Sedunia 22 April, Tunjukkan Kamu Peduli Lingkungan!

Berkaca dari contoh kasus di atas, pentingnya jaminan hukum bagi masyarakat adat untuk melakukan pemanfaatan atas pengelolaan hutan terus menjadi hal yang patut diperjuangkan. Terlebih lagi karena mereka tetap setia dengan perannya untuk menjaga bumi, maka pengakuan yang diberikan negara akan mampu memperkuat masyarakat untuk mengelola hutan.

Rikardo Simarmata, pakar hukum agraria dari Universitas Gadjah Mada menyatakan, “Jaminan pengelolaan hutan atau lahan, baik hak milik ataupun hak pengelolaan seperti Hutan Kemasyarakatan (HKM) sangat penting. Masyarakat adat ini perlu akses agar pengelolaan lahan mereka aman dan tidak bisa diambil oleh orang lain sewaktu-waktu,” jelasnya.

Rikardo menjelaskan bahwa selama ini beberapa kelompok masyarakat adat yang ingin memperoleh jaminan atas pengelolaan hutan adat bisa menempuh jalur hukum dan sudah terbukti berhasil memenangkan beberapa kasus perdata.

Ke depannya, Rikardo berharap keterlibatan berbagai pihak untuk mendukung jaminan pengelolaan lahan
atau hutan bagi masyarakat adat.

“Pemerintah perlu saling berkoordinasi untuk membenahi sektor hulu agar bisa mengindentifikasi sistem penguasaan dan penggunaan lahan di kawasan hutan dan lahan lainnya. Ini dilakukan agar lahan tersebut tidak bersinggungan dengan masyarakat adat. Ingat, sistem kepemilikan dan sistem penguasaan yang tidak diidentifikasi adalah penyebab utama timbulnya konflik. Sedangkan konflik sudah terbukti akan menimbulkan banyak kerugian jangka panjang,” tutur Rikardo.

Baca Juga:Sejarah Hari Bumi, Diperingati Sejak 1970

Sementara itu, keterlibatan masyarakat sipil untuk melakukan pendataan dan pendampingan langsung pada masyarakat juga diperlukan. Keterlibatan tersebut tidak sebatas pada kampanye isu dan advokasi kebijakan saja, melainkan juga keterbukaan untuk bekerja sama dengan berbagai pihak terkait untuk melakukan intervensi secara langsung. Dari sisi masyarakat sendiri, diperlukan fleksibilitas untuk menghadapi tekanan dari luar serta peningkatan pengetahuan untuk bisa beradaptasi dengan hal-hal baru.

“Pada dasarnya, kolaborasi dan perhatian pada masyarakat adat adalah kunci untuk memastikan peran mereka sebagai penjaga bumi dapat terus dijaga dari generasi ke generasi. Sudah saatnya hukum negara ini bisa ikut melindungi mereka yang berperan menjaga alam,” tutup Rikardo.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini