Cerita Warga Pinggiran Depok Selama PPKM, Usaha Bangkrut dan Tidak Pernah Dapat Bansos

Kapasitas pengunjung pun ditambah menjadi paling banyak 50 persen dari sebelumya hanya 25 persen di Depok.

Andi Ahmad S
Kamis, 02 September 2021 | 15:56 WIB
Cerita Warga Pinggiran Depok Selama PPKM, Usaha Bangkrut dan Tidak Pernah Dapat Bansos
Rumah Lissenti (49) di Kampung Bulak Barat, Kelurahan Cipayung, Kecamatan Cipayung, Kota Depok. [Suarabogor.id/Immawan]

SuaraBogor.id - Pemkot Depok kian melonggarkan aktivitas masyarakat di masa PPKM Level 3. Yang terbaru, Pemkot telah mengizinkan warung makan, lapak jajanan dan restoran outdoor buka hingga pukul 21.00 WIB dari sebelumnya pukul 20.00 WIB.

Kapasitas pengunjung pun ditambah menjadi paling banyak 50 persen dari sebelumya hanya 25 persen di Depok.

Namun, pelonggaran ini ternyata belum cukup untuk memberi solusi atas kesulitan masyarakat di masa pandemi Covid-19. Terlebih, bagi masyarakat dipinggiran Depok yang berpendapatan harian.

Ilustrasi pemberian bansos Covid-19. (Antara)
Ilustrasi pemberian bansos Covid-19. (Antara)

Seorang warga Kampung Bulak Barat, Kecamatan Cipayung, Lissenti (49), merasa tidak ada perubahan sejak pelonggaran PPKM Level 3.

Baca Juga:11 Kecamatan di Depok Gelar Gebyar Vaksinasi, Mulai 1-5 September 2021

"Masih susah semuanya. Dibilang perih ya perih ya, kondisinya," ungkap ibu 5 anak ini kepada SuaraBogor.id, Kamis (2/9/2021) di rumahnya.

Ibarat pukulan telak yang bertubi, pandemi Covid-19 meng-KO kondisi keuangan keluarga Lissenti. Usahanya gulung tikar, tapi Ia dipaksa keadaan untuk menafkahi 4 anak yang masih tinggal bersamanya.

Dia mengurus anaknya sendiri, setelah ditinggal sang suami beberapa tahun lalu. Tanpa mengeluh, Lissenti mencari uang untuk makan, membayar tagihan listrik, air dan uang sekolah anaknya.

Anak ke-2 Lissenti baru lulus kuliah Agustus 2021. Namun anak ke-4 nya baru masuk SMA dan anak ke-5 nya masih kelas 4 SD.

"Sekolahnya memang di rumah ya. Tapi tiap mau ulangan harus bayar, daftar ulang bayar dan SPP bulanan juga kan jalan terus," bebernya.

Baca Juga:Kemendagri Minta Pemda Tambah Alokasi Anggaran Belanja Tidak Terduga Pada APBD 2022

Lissenti membuka usaha warung nasi dekat rumahnya pada pertengahan 2020. Warungnya selamat di tahun pertama pandemi, tapi tidak sanggup bertahan memasuki tahun kedua.

Dia gagap teknologi, sehingga tidak bisa mengalihkan usahanya ke sistem penjualan online.

"Menjelang tutup itu sepi banget. Sudah kayak kota mati dan tiap malam pasti didatangi Satpol PP. Kami jual nasi dikejar-kejar kayak ngedarin narkoba," tukasnya.

Lissenti mengaku tidak pernah menerima bantuan dalam bentuk apapun dari pemerintah selama pandemi.

"Dari awal gaada. Kami gapernah nerima (bantuan) dari presiden, gubernur, walikota. Sembako gaada. Kemaren rame bansos tunai juga kami gak dapet," ucapnya.

Lissenti kerja serabutan setelah warungnya tutup. Mulai dari memasak untuk katering, jadi panitia di event-event organisasi kemasyarakatan, sampai menjadi tukang urut panggilan.

"Apapun untuk menafkahi anak-anak saya, pasti saya otewe (kerjakan)," tegasnya.

Lissenti bukannya tidak ingin berjualan kembali setelah pembatasan aktivitas melonggar seperti sekarang. Hanya saja, Dia kesulitan mendapat modal usaha.

"Mentoknya di modal untuk sewa tempat dan bahan sama alat masak. Kondisi juga masih beginisi (belum normal)," imbuhnya.

Dia berharap, pandemi segera berakhir agar pemerintah mencabut semua pembatasan aktivitas masyarakat.

"Pejabat atau orang kelas menengah ke atas si mungkin ada tabungan, jadi bisa tenang-tenang. Lah kita? Pendapatannya harian. Nggak jualan ya nggak ada uang untuk makan," pungkasnya.

Kontributor : Immawan Zulkarnain

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini