
Salah satu pasar di masa itu yang masih ada sampai saat ini adalah pasar di Jalan Dewi Sartika, Kecamatan Pancoran Mas.
Dulu hanya ada satu toko yang agak lengkap dan buka setiap hari di Pasar Dewi Sartika, yaitu Toko Pa Thung. Toko Pa Thung yang dulu sangat terkenal, milik seorang keturunan Tionghoa Bernama Pa Thung.
“Jadi masyarakat yang ingin belanja di hari selain Selasa dan Kamis, hanya bisa membeli kebutuhan sebatas yang disediakan Toko Pa Thung,”
Baba memastikan, tidak ada aksi kejam khas pemberontak yang dilakukan anggota PKI di Depok.
Baca Juga:Bejat! Mau Gagahi Istri Orang, Oknum Petugas Keamanan di Bogor Ditangkap
Tidak ada juga aktivitas mereka yang membuat warga takut, apalagi sampai mengancam keselamatan mereka, seperti yang diberitakan media massa.
Sejauh yang Baba tahu, PKI hanya sebuah partai politik (parpol) yang aktif menggalang dukungan dari masyarakat. Bahkan, PKI termasuk salah satu partai yang berkuasa kala itu.
Karena masuk dalam lingkaran pemerintahan, keributan yang membawa nama PKI biasanya sebatas beda pendapat antara PKI dengan parpol lain seperti Masyumi, Partai Nasional Indonesia (PNI) atau Partai Nahdatul Ulama (NU).
Bukannya membantai, PKI justru dikenal loyal dalam urusan merawat dukungan masyarakat. Mereka rutin membagikan sembako seperti gula, terigu dan beras untuk konstituennya.
"Kalau kata info yang beredar, kan katanya PKI melakukan pembantaian terus berlawanan dengan ajaran agama. Mungkin itu di daerah lain, di sini gak ada itu,” kenang Baba.
Baca Juga:Polda Metro Targetkan 70 Persen Warga Depok Telah Divaksin Dosis Pertama Pada Oktober
Ketimbang PKI, warga Depok di masa itu justru lebih takut pada gerombolan preman bekas pejuang kemerdekaan.
Mereka memeras dan merebut paksa uang dan hewan peliharaan warga.
Preman ini terdiri dari masyarakat pribumi yang ikut berperang melawan penjajah, tapi tidak mau dan atau tidak bisa bergabung dengan Tentara Keaman Rakyat (TKR).
“Kan dulu ada pasukan yang namanya PETA, KNIL dan lain-lain. Setelah merdeka, mereka ini ditata untuk masuk dalam TKR. Tapi banyak yang tidak mengurus administrasinya,”
Satu-satunya saluran informasi di masa itu adalah radio kayu setinggi hampir 50 centimeter. Karena harganya yang sangat mahal. Radio hanya dimiliki sebagian kecil masyarakat.
Seluruh Informasi yang diterima masyarakat, termasuk peristiwa G30SPKI hanya dapat diakses melalui radio.