SuaraBogor.id - Adu argumen yang melibatkan petinggi partai PDI Perjuangan dengan PKS semakin memanas. Adu argumen ini dimulai saat PKS memutuskan memberi kritik tajam terkait kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM.
Gaya PKS untuk memberikan dukungan kepada pendemo tolak kenaiakn BBM kemudian direspon oleh Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto.
Hasto kemudian meminta elite PKS untuk fokus saja membenahi kota Depok. Menurut Hasto, sejak dipimpin oleh orang PKS, kota Depok tidak ada kemajuan.
Kritik ini kemudian dijawab oleh Wali Kota Depok, Mohammad Idris dengan meminta elit politik seperti Hasto tidak asal bunyi alias asbun.
Baca Juga:AHY Bandingkan Kinerja Jokowi dengan SBY, Begini Tanggapan Gibran Rakabuming Raka
Selain itu, Jubir PKS juga sempat menyindir soal angka kemiskinan kota Solo yang dipimpin Gibran Rakabuming, cukup tinggi di Jawa Tengah.
Terbaru, Sekretaris DPC PDIP Depok, Ikravany Hilman ikut berkomentar terkait adu argumen antara elit partai.
Ditegaskan oleh Ikravany, bahwa pernyataan dari Hasto terkait gaya PKS mengkritik kebijakan kenaikan BBM bukan karena baper atau tidak baper.
“Ini bukan soal baper tidak baper. Responnya kan begini, bahwa ini tiba-tiba secara masif dilakukan penggalangan opini melalui spanduk, melalui poster, baliho, macem-macem, kemudian ada demonstrasi oleh PKS kan gitu,” kata Ikravany Hilman seperti dikutip dari Depoktoday--jaringan Suara.com
Ikravany Hilman lebih lanjut menyoroti soal sikap PKS terkait kenaikan BBM, apakah murni kepedulian terhadap rakyat kecil atau hanya oportunisme politik.
Baca Juga:Duet Anies-AHY Makin Menguat di Demokrat, PKS Masih Berhitung
“Sebetulnya kritiknya begini, nanti kita buktikan, ini soal memang kepedulian murni PKS terhadap rakyat kecil, atau oportunisme politik memanfaatkan situasi (kenaikan BBM),” ungkapnya.
Ditegaskan oleh Ikravany, bahwa kritik yang disampaikan oleh Sekjen PDI Perjuangan sebenarnya merupakan penguji dari sikap PKS itu sendiri, bahwa karakter dari kritik tersebut apakah murni kepedulian pada rakyat kecil, atau oportunisme politik.
“Makanya dia coba bandingkan. Nah kemarin muncul bantahan, bahkan membandingkan dengan Solo yang katanya kepala daerahnya PDI Perjuangan, dibandingkan dengan tingkat kemiskinan hingga indeks pembangunan manusia,” ujarnya.
“Menurut saya itu kan bantahan yang culun,”
Dikatakan oleh Ikravany, tingkat kemiskinan itu nggak bisa serta merta digunakan sebagai alat ukur keberhasilan suatu pemerintahan di tingkat kota.
“Karena yang punya program pengetasan kemiskinan bukan cuma kota, tapi provinsi ada, nasional juga ada. Nah ketika itu kembali ke tingkat kota, maka penurunan tingkat kemiskinan itu bisa karena tiga program ini. Bisa karena program pemkot, pemprov, dan sebagainya.” jelasnya.
Lanjut Ikravany, jika bicara tingkat kemiskinan maka itukan persentase, bukan jumlah.
“Kalau jumlah 50, itu persentasenya kan tergantung jumlah penduduk. Kalau jumlah penduduknya 100 maka persentasenya 50 persen, kalau 200 maka 25 persen, tapi orang miskinnya nggak berkurang. Jadi kita jangan fokus soal itu, itu seolah-olah prestasi, nggak,” ungkap Ikravany.
Disampaikan oleh Ikra, bahwa tingkat migrasi di kota Depok cukup tinggi yakni sekitar 3-4 persen setiap tahunnya.
Dari data itu, maka tak mengherankan jika presentase kemiskinan di kota Depok itu cukup rendah.
“Migrasi ya, bukan transmigrasi. Yakni orang yang kerja di Jakarta beli rumah di Depok,”
Mereka yang membeli rumah di kota Depok menurut Ikra, rata-rata adalah orang berpenghasilan UMR atau di atasnya, dengan kata lain adalah kalangan menengah.
“Jadi misalnya gini, Kota Depok ini kalaupun pemkot nggak punya program pengentasan kemiskinan tapi dengan migrasi ini tiap tahun bisa berkurang kok orang miskin. Karena setiap tahun banyak orang yang di atas kemiskinan datang ke Kota Depok," jelasnya.