Secara praksis, tafa’ul sendiri pernah dipraktikkan langsung oleh Nabi SAW, yaitu saat beliau mengubah nama anak kecil yang dirasa kurang pantas menjadi Munzir.
Menurut Abu al-Dawudy, penamaan Nabi kepada anak kecil tersebut adalah bentuk tafa’ul supaya kelak dia menjadi sosok pemberi nasihat atas ilmu yang dimiliki, sesuai dari makna nama itu, atau, banyak bentuk-bentuk tafa’ul yang dapat dijumpai dalam kitab-kitab fikih, seperti tidak dianjurkannya memecah tulang sembelihan binatang aqiqah, atas dasar tafa’ul supaya hidupnya selamat.
Dan dianjurkan pula memasaknya dengan bumbu yang manis, atas dasar tafa’ul supaya kelak si anak berakhlak baik; anjuran menyiram air di atas kuburan dengan air suci dan dingin (bukan air panas), atas dasar tafa’ul supaya Allah mendinginkan tempat semayam terakhirnya, melepas ikatan tali janazah selepas diturunkan ke dalam liang lahat, atas dasar tafa’ul supaya Allah Swt. Meringankan siksaan kuburnya, dan masih banyak lagi yang lain.
Tafa’ul memang dianggap penting dan perlu. Sebab selain merealisaaikan instruksi untuk beriktikad dan berbaik sangka kepada Allah SWT.
Tafa’ul juga akan memantik daya magis-energik kepada setiap diri manusia untuk mengejawantahkan misi dari harapan baik tersebut. Hal ini sesuai rasionalisasi Imam al-Sya’rawi atas hadis di atas, sebagai berikut:
لأن الفَأْل الطيب يُنشّط أجهزة الجسم انبساطاً للحركة
Artinya: “Sebab tafa’ul yang baik akan membangkitkan semangat jiwa untuk memudahkan aktivitas tubuh untuk berbuat baik".
Dengan meminum susu putih pada awal bulan Muharram ini, umat Islam akan senantiasa berharap agar sepanjang tahun ini mendapat keberkahan dan kebaikan seputih susu.
Bersamaan dengan iktikad baik dan optimisme yang kuat, maka secara tidak langsung umat Islam akan terobsesi dan tergugah untuk konsisten melakukan hal-hal baik pula pada tahun ini.