Layar Ditinggalkan, Langit Jadi Tontonan: Saat Gerhana 'Blood Moon' Satukan Ribuan Warga

Di jantung kota yang tak pernah tidur, sebuah gerhana bulan total berhasil menciptakan momen digital detox massal yang paling tak terduga.

Andi Ahmad S
Senin, 08 September 2025 | 15:35 WIB
Layar Ditinggalkan, Langit Jadi Tontonan: Saat Gerhana 'Blood Moon' Satukan Ribuan Warga
ilustrasi gerhana bulan.
Baca 10 detik
  • Fenomena langka ini diperkirakan baru akan terulang secara utuh pada 31 Desember 2027.
  • Sebuah gerhana bulan total berhasil menciptakan momen digital detox massal.
  • Generasi yang dituding tak bisa lepas dari gawai justru menjadi motor utama acara.

SuaraBogor.id - Ada sihir yang terjadi di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada Minggu (7/9) malam, dan itu bukan hanya datang dari bulan yang memerah darah.

Sihir sesungguhnya adalah pemandangan ribuan orang yang dengan sukarela meletakkan ponsel mereka, mematikan notifikasi, dan memilih untuk hadir sepenuhnya dalam satu momen kolosal.

Di jantung kota yang tak pernah tidur, sebuah gerhana bulan total berhasil menciptakan momen digital detox massal yang paling tak terduga.

Lupakan sejenak kafe estetis atau konser hingar bingar. Malam itu, "tempat nongkrong" paling hits di Jakarta adalah hamparan tikar di depan Teater Jakarta.

Baca Juga:Update Tragedi di Bogor: Teras Tebing Majelis Taklim Ambrol, Bupati Sebut Korban Tembus 80 Orang

Generasi yang dituding tak bisa lepas dari gawai justru menjadi motor utama acara "Piknik Malam Bersama Gerhana Bulan Total 2025".

Mereka menukar scrolling tanpa akhir dengan obrolan tatap muka, tawa bersama orang asing, dan decak kagum yang sinkron saat bulan perlahan ditelan bayangan Bumi.

Irena (25), yang rela menempuh perjalanan dari Bogor, menjadi simbol dari pencarian ini. Dengan kamera di tangan, tujuannya lebih dari sekadar konten.

"Ada harapan blood moon dapat terpotret cantik," ujarnya.

Ini adalah harapan untuk menangkap sebuah pengalaman otentik, sebuah kenangan yang bobotnya jauh melampaui sekadar likes dan shares.

Baca Juga:Detik-detik Mencekam Maulid di Ciomas Berujung Duka, Mushola Ambruk Timpa Puluhan Jemaah

Fenomena ini membuktikan satu hal: ada kelaparan mendalam akan pengalaman komunal. Panitia yang awalnya hanya membuka kuota 300 orang dibuat kewalahan saat pendaftar meledak hingga 2.000.
Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan manifesto diam-diam dari masyarakat urban yang merindukan koneksi.

Saat fase totalitas mencapai puncaknya pada pukul 01.11 WIB, dan bulan menggantung di langit dengan warna merah darah yang magis, tidak ada aplikasi yang bisa mereplikasi perasaan itu.

Suara "wow" yang serempak dari ribuan orang menciptakan getaran kolektif.

Orang-orang yang tadinya asing, kini berbagi selimut, menawarkan bekal, dan saling meminjamkan bahu untuk melihat lewat lensa teleskop. Inilah jejaring sosial dalam bentuknya yang paling murni.

Delapan teleskop yang disediakan panitia menjadi episentrum interaksi. Antreannya panjang, namun tak ada yang mengeluh.
Proses menunggu justru menjadi ajang berkenalan dan berbagi cerita.

Anak-anak bertanya dengan polos, orang dewasa bernostalgia tentang gerhana yang mereka lihat di masa kecil, dan para ahli astronomi seperti Profesor Thomas Djamaluddin menjadi pusat kerumunan, menjelaskan fenomena langit dengan bahasa yang membumi.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini

Tampilkan lebih banyak