-
Pentingnya Sinergi Pengelola Wakil Kepala BGN menekankan bahwa kerja sama solid antara Kepala SPPG, tenaga ahli, dan mitra sangat krusial demi kesuksesan, keamanan, dan keberlanjutan operasional program Makan Bergizi Gratis.
-
Dampak Negatif Perselisihan Internal Konflik internal di SPPG Mojokerto menyebabkan penghentian operasional serta menghambat proses administratif penting seperti pengajuan anggaran, sertifikasi halal, dan pengolahan limbah yang sangat dibutuhkan masyarakat.
-
Ketegasan Legalitas dan Sertifikasi BGN memberikan tenggat waktu 30 hari bagi SPPG untuk mendaftarkan Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS). Jika gagal memenuhi standar tersebut, satuan pelayanan terancam akan ditutup permanen.
SuaraBogor.id - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menjadi flagship atau program unggulan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto kini menghadapi tantangan tak terduga.
Bukan soal anggaran atau logistik, melainkan masalah klasik ego dan drama internal antar pengelola. Wakil Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Nanik Sudaryati Deyang, dibuat geram dengan laporan adanya Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang mogok jalan hanya karena pengelolanya saling bermusuhan.
Dalam arahannya pada 6 Desember 2025, Nanik memberikan "kuliah moral" sekaligus sindiran keras kepada para pengelola dapur. Ia menekankan bahwa program kemanusiaan sebesar ini mustahil sukses jika tim di dalamnya sibuk bertengkar.
“Selain bekerja sama dengan Ahli Gizi, Ahli Akuntansi, dan Relawan dalam mengelola dapur, Kepala SPPG juga harus bisa bekerjasama dengan Mitra/Yayasan. Kalau kalian malah berantem, dan tidak bisa bekerja sama, bagaimana program yang sangat luar biasa ini bisa berjalan dengan baik,” tegas Nanik.
Baca Juga:Cerita Heroik SPPG Aceh 'Survival Mode' Ganti Menu Umbi-umbian di Tengah Kepungan Banjir
Kasus nyata terjadi di SPPG Japan Sooko, Mojokerto. Syaikhu, salah satu mitra SPPG, melaporkan fakta yang cukup memalukan. Dapur yang seharusnya melayani ratusan anak sekolah terpaksa berhenti beroperasi hanya dalam hitungan hari karena ketidakharmonisan antara Mitra, Kepala SPPG, Ahli Gizi, dan Akuntan.
“Kami baru mulai 20 Oktober, tapi baru 5 hari jalan, harus berhenti,” ungkap Syaikhu.
Dampak dari perselisihan ini sangat fatal. Tanpa tanda tangan dan kerja sama tim yang solid, pengajuan proposal macet dan anggaran tidak bisa dicairkan. Lebih parah lagi, pengurusan legalitas krusial seperti Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS), Sertifikasi Halal, hingga Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) menjadi terbengkalai.
Konflik internal ini berimbas langsung pada data kepatuhan. Di Kabupaten Mojokerto, dari 52 SPPG yang beroperasi, baru 8 unit yang mengantongi SLHS. Kondisi di Kota Mojokerto setali tiga uang, dari 7 SPPG, baru 3 yang bersertifikat. Padahal, Dinas Kesehatan setempat sudah sangat proaktif membantu.
Nanik tidak mau mendengar alasan lagi. Ia mengeluarkan ultimatum keras urus izin atau gulung tikar.
Baca Juga:Banyumas Paling Lambat, Nanik Sudaryati Ancam Tutup SPPG yang Membandel
“Sekarang yang penting kalian daftar dulu, saya beri waktu 30 hari. Kalau dalam 30 hari belum juga mendaftar, SPPG akan kami tutup,” ancam mantan wartawan senior tersebut.
Poin paling menohok dari teguran Nanik adalah ketika ia membandingkan sikap para pengelola dapur dengan sikap kenegarawanan Presiden Prabowo. Di level elit politik yang persaingannya keras, rekonsiliasi bisa terjadi. Namun ironisnya, di level akar rumput (tetangga kampung), permusuhan justru menghambat program negara.
Nanik meminta agar dalam satu lingkup SPPG, tidak ada pihak yang merasa paling dominan, paling pintar, atau menyimpan dendam pribadi.
“Kalian bisa mencontoh Pak Prabowo. Beliau saja bisa merangkul semua lawan politiknya. Masak di sini cuma tetangga kampung saja sampai musuhan begitu,” sindir Nanik menutup arahannya.