SuaraBogor.id - Indonesia telah memasuki musim vaksinasi Covid-19, vaksin pabrikan China dengan merek dagang Sinovac. Bahkan belum lama ini, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI telah mengumumkan efikasi vaksin Covid-19 buatan Sinovac sebesar 65.3 persen.
Angka tersebut berbeda dengan laporan efikasi di Turki sebesar 91,25 persen serta di Brasil sebesar 78 persen. Lantas, mengapa hasilnya bisa berbeda?
Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. Dr. Zullies Ikawati, Apt mengatakan hal ini tidak lepas dari karakter subjek serta risiko infeksi pada relawan yang berpartisipasi dalam uji klinis fase 3 akhir di Bandung, Jawa Barat.
"Efikasi ini akan dipengaruhi dari karakteristik subyek ujinya. Jika subyek ujinya adalah kelompok risiko tinggi, maka kemungkinan kelompok plasebo akan lebih banyak yang terpapar, sehingga perhitungan efikasinya menjadi meningkat," ujar Prof. Zullies berdasarkan siaran pers yang diterima Suara.com, Selasa (12/1/2021).
Baca Juga:Efikasi Vaksin Sinovac di Indonesia Hanya 65,3 Persen, Ini Kata Dokter
Kelompok plasebo adalah kelompok yang menerima pil kosong alias pil tanpa efek obat atau tidak mengandung vaksin.
Inilah yang membedakan subyek penelitian yang menerima vaksin sebagai kelompok terkontrol dan kelompok plasebo atau kelompok tidak terkontrol.
Jadi misalnya pada uji klinis Sinovac di Bandung yang melibatkan 1600 orang, terdapat 800 subyek yang menerima vaksin, dan 800 subyek yang mendapatkan plasebo.
Jika dari kelompok yang divaksin ada 26 yang terinfeksi (3.25 %), sedangkan dari kelompok plasebo ada 75 orang yang kena Covid (9,4%), maka efikasi dari vaksin adalah = (0.094 – 0.0325)/0.094 x 100% = 65,3 persen.
Jadi yang menentukan adalah perbandingan antara kelompok yang divaksin dengan kelompok yang tidak.
Baca Juga:Musim Vaksin Telah Tiba, Ini Arti Efikasi Vaksin dan Efektivitas Vaksin
Seumpama pada kelompok vaksin ada 26 yang terinfeksi, sedangkan kelompok plasebo bertambah menjadi 120 yang terinfeksi, maka efikasinya meningkat menjadi 78.3 persen.
Sementara itu uji klinis vaksin Covid-19 di Brasil menggunakan kelompok berisiko tinggi yaitu tenaga kesehatan, sehingga efikasinya diperoleh lebih tinggi.
Sedangkan di Indonesia menggunakan populasi masyarakat umum yang risikonya lebih kecil.
"Kita subyek ujinya berisiko rendah, apalagi taat dengan prokes, tidak pernah keluar rumah sehingga tidak banyak yg terinfeksi, maka perbandingan kejadian infeksi antara kelompok plasebo dengan kelompok vaksin menjadi lebih rendah, dan menghasilkan angka yang lebih rendah," papar Prof. Zullies.
Diibaratkan ada kelompok vaksin ada 26 yang terinfeksi Covid-19 (3,25%) sedangkan di kelompok plasebo cuma 40 orang (5%) karena menjaga prokes dengan ketat, maka efikasi vaksin bisa turun menjadi hanya 35%, yaitu dari hitungan (5 - 3,25)/5 x 100% = 35%.
"Jadi angka efikasi ini bukan harga mati, dan dapat dipengaruhi oleh banyak faktor ketika uji klinik dilakukan. Selain itu, jumlah subyek uji dan lama pengamatan juga dapat memperngaruhi hasil. Jika pengamatan diperpanjang menjadi 1 tahun, sangat mungkin menghasilkan angka efikasi vaksin yang berbeda," pungkas Prof. Zullies.