"Yang paling saya khawatirkan itu ibu dan adik saya AA, karena mereka paling erat kontaknya dengan kami yang positif," papar Edwin.
Edwin tidak mau ambil resiko. Dia segera menghubungi Puskesmas Pancoran Mas untuk melakukan tracing dan melakukan swab pada ibu dan adiknya.
Ibunya sudah tua dan kakinya patah, sehingga tidak bisa jalan dan harus menggunakan kursi roda. Sementara sang adik, AA, berkebutuhan khusus karena mengidap down syndrome atau keterbalakangan mental.
Karena itu, Dia meminta petugas dari Puskesmas melakukan tes di rumah.
Baca Juga:7 Tips Cegah Penularan Virus Covid-19 di Dalam Rumah
"Di hari selasa 22 Juni itu, Puskesmas bilang oke. Katanya mereka akan cari waktu untuk datang ke rumah. Tapi setelah kita tunggu dari hari Selasa itu, tidak ada ada kabar," papar Edwin.
Edwin sempat mendatangi langsung Puskesmas beberapa hari kemudian untuk melakukan swab pada putrinya, sekaligus mengajukan kembali permohonan untuk swab di rumah.
Untuk kedua kalinya, sambung Edwin, tanggapan Puskesmas masih sama, akan disiapkan waktu.
Bahkan Istrinya pun terus menghubungi Puskesmas melalui whatsapp, namun tidak ada jawaban sama sekali.
Sekitar 3 atau 4 hari sebelum meninggal, AA mulai menunjukkan gejala seperti batuk dan demam setiap hari. Karena tidak ada petugas yang datang, Edwin hanya bisa memberi obat seadanya sampai AA meninggal.
Baca Juga:Senin Besok, Rombongan Pejabat Ikut Gubernur Kepri Ansar Ahmad ke Natuna akan Tes COVID-19
"Alhamdulillah panasnya turun dan batuknya reda setiap minum obat, tapi selalu kumat lagi besoknya. Puncaknya itu Kamis malam. Kondisinya sudah drop banget, tidak mau makan," katanya.