SuaraBogor.id - Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan salah satu partai terkuat pada masanya. Bahkan pada pemilu tahun 1955 PKI menempati urutan ke empat pada waktu itu.
Berdasarkan data yang diperoleh, dari website Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) PKI yang dipimpin DN Aidit di pemilu tahun 1955 memperoleh 16,47 persen, dan sebanyak 80 kursi secara konstituante.
Sedangkan perolehan suara PKI di DPR mencapai 16,4 persen dengan sebanyak 39 kursi pada pemilu tahun 1955 silam.
Keberhasilan PKI secara nasional itu tentunya berkat para kader dan simpatisan disetiap daerah di Indonesia yang akftif berperan dalam kampanye di pemilu 1955 silam.
Baca Juga:Pergerakan Tanah Terjadi di Cianjur, Empat Rumah Rusak
Mengenal Pentolan Senior PKI DN Aidit.
Mengutip dari Wikipedia, Dipa Nusantara Aidit atau dikenal juga dengan D.N. Aidit lahir pada 30 Juli 1923 dan meninggal pada 22 November 1965 adalah seorang pemimpin senior Partai Komunis Indonesia (PKI). Lahir dengan nama Ahmad Aidit di Pulau Belitung, ia akrab dipanggil "Amat" oleh orang-orang yang akrab dengannya. Aidit mendapat pendidikan dalam sistem kolonial Belanda.
Ia dilahirkan dengan nama Achmad Aidit di Belitung, dan dipanggil "Amat" oleh orang-orang yang akrab dengannya. Pada masa kecilnya, Aidit mendapatkan pendidikan Belanda. Ayahnya, Abdullah Aidit, ikut serta memimpin gerakan pemuda di Belitung dalam melawan kekuasaan kolonial Belanda, dan setelah merdeka sempat menjadi anggota DPRS mewakili rakyat Belitung. Abdullah Aidit juga pernah mendirikan sebuah perkumpulan keagamaan, "Nurul Islam", yang berorientasi kepada Muhammadiyah. Adapun ibu DN Aidit, Melani Aidit, berasal dari Maninjau, Agam, Sumatra Barat.
Menjelang dewasa, Achmad Aidit mengganti namanya menjadi Dipa Nusantara Aidit. Ia memberitahukan hal ini kepada ayahnya, yang menyetujuinya begitu saja.
Dari Belitung, Aidit berangkat ke Jakarta, dan pada 1940, ia mendirikan perpustakaan "Antara" di daerah Tanah Tinggi, Senen, Jakarta Pusat. Kemudian ia masuk ke Sekolah Dagang ("Handelsschool"). Ia belajar teori politik Marxis melalui Perhimpunan Demokratik Sosial Hindia Belanda (yang belakangan berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia).
Baca Juga:8 Aktor Terlibat Film G30S PKI: Umar Kayam hingga Wawan Wanisar
Dalam aktivitas politiknya itu pula ia mulai berkenalan dengan orang-orang yang kelak memainkan peranan penting dalam politik Indonesia, seperti Adam Malik, Chaerul Saleh, Bung Karno, Bung Hatta, dan Mohammad Yamin. Menurut sejumlah temannya, Hatta mulanya menaruh banyak harapan dan kepercayaan kepadanya, dan Achmad menjadi anak didik kesayangan Hatta. Namun belakangan mereka berseberangan jalan dari segi ideologi politiknya.
Meskipun ia seorang Marxis dan anggota Komunis Internasional (Komintern), Aidit menunjukkan dukungan terhadap paham Marhaenisme Sukarno dan membiarkan partainya berkembang tanpa menunjukkan keinginan untuk merebut kekuasaan.
Sebagai balasan atas dukungannya terhadap Sukarno, ia berhasil menjadi Sekjen PKI, dan belakangan Ketua. Di bawah kepemimpinannya, PKI menjadi partai komunis ketiga terbesar di dunia, setelah Uni Soviet dan Tiongkok. Ia mengembangkan sejumlah program untuk berbagai kelompok masyarakat, seperti Pemuda Rakyat, Gerwani, Barisan Tani Indonesia (BTI), Lekra, dan lain-lain.
Dalam kampanye Pemilu 1955, Aidit dan PKI berhasil memperoleh banyak pengikut dan dukungan karena program-program mereka untuk rakyat kecil di Indonesia.
Dalam dasawarsa berikutnya, PKI menjadi pengimbang dari unsur-unsur konservatif di antara partai-partai politik Islam dan militer. Berakhirnya sistem parlementer pada tahun 1957 semakin meningkatkan peranan PKI, karena kekuatan ekstra-parlementer mereka.
Ditambah lagi karena koneksi Aidit dan pemimpin PKI lainnya yang dekat dengan Presiden Sukarno, maka PKI menjadi organisasi massa yang sangat penting di Indonesia.
Pengikut dan simpatisan Partai Komunis yang dibentuk pada tahun 1914 tersebut juga cukup banyak di Kabupaten Cianjur yang dikenal sebagai kota santri.
Sejak pemilu 1955 hingga sekitar tahun 1965 PKI menjadi salah satu parpol terkuat di Indonesia. Hingga pada tahun 1965 Comite Sektor (SC) di Kabupaten Cianjur PKI dipimpin oleh Marsudi.
"Berdasarkan riset yang saya lakukan, saat menjelang G30S PKI meletus, Comite Sentral PKI di Cianjur dipimpin oleh Marsudi," ujar Hendi Jo, jurnalis sejarah kelahiran Cianjur.
Marsudi pimpinan PKI di Kabupaten Cianjur itu, tinggal disebuah rumah sederhana di sekitar Jalan Ariacikondang, Keluarahan Sayang, Kecamatan Cianjur.
"Berdasarkan wawancara saya dengan beberapa saksi sejarah di Cianjur, Pak Marsudi saat itu tinggal bersama keluarganya di Jalan Arya Cikondang, dekat Gang Harapan," ungkap Hendi.
Menurutnya, hingga saat ini pimpinan PKI CS Kabupaten Cianjur, yaitu Marsudi belum jelas asalnya dari mana.
Seiring dengan pergolakan politik di Indonesia hingga pecahnya peristiwa Gerakan 30 September (G30S) PKI tahun 1965 dan diculiknya beberapa pejabat militer. Para kader serta simpatisan PKI pun menjadi tahanan politik pada saat itu.
Hendri mengatakan, saat G30S pecah, sesudahnya Marsudi diciduk aparat setempat dan diperkirakan diasingkan ke Pulau Buru bersama keluarganya.
Sejumlah pemimpin Komite Sektor Daerah PKI dibeberapa daerah termasuk di Cianjur menjadi tahanan politik. Termasuk Ketua Komite Sektor Daerah Cianjur, yaitu Marsudi.
"Ketika G30S PKI pecah, itu tidak berdampak langsung kedaerah, tetapi selang beberapa hari setelahnya, dan Pak Marsudi ini pun menjadi tahanan politik lalu diasingkan ke Pulau Buru yang berada di Kepulauan Maluku," kata dia.
Tidak hanya Marsudi, keluarga serta beberapa pengikutnya pun menjadi tahanan politik yang tengah bergejolak kala itu. Keluarga dan pengikutnya itu ada ditahan di sekitar Cianjur juga ikut di asingkan ke Pulau Buru.
Hendri Jo pria yang sempat tinggal di Cianjur itu, mengatakan, tidak hanya keluarga serta pengikut Marsudi, sejumlah orang yang diduga sebagai simpatisan serta kader PKI di Cianjur pun menjadi tahanan politik.
"Ada kurang lebih 1500 anggota dan simpatisan PKI Cianjur yang setelah G30S pecah dimasukan ke sebuah kamp yang saat itu terletak di sebuah pabrik karet dekat Panembong," ungkap Hendi
Jejak perjalan PKI pada beberapa puluhan tahun lalu di Cianjur memang sangat minim, bahkan cukup sulit untuk menemukan warga yang mengetahui keberaan kediamanan Ketua Comite Sektor (CS) Cianjur.
"Memang masih ada beberapa rumah tua di sekitar Jalan Ariacikondang. Namun soal adanya rumah pimpinan PKI disekitar sana kurang tau juga," kata Bintang (49) seorang warga yang enggan disebutkan identitasnya.
Menurutnya, berdasarkan cerita orang tua, PKI memang lumayan banyak jumlah masanya, seperti di Kampung Sarongge, Desa Sirnagalih, Kecamatan Cilaku. Bahkan hingga saat ini masih ada beberapa keluarganya.
"Saya dulu sempat mendengarkan cerita dari orang tua, dan beberapa warga lainya, soal keberadaan simpatisan PKI waktu itu," katanya.
Kini tempat itu rumah ramai dengan masyarakat dan para karyarawan disetiap harinya. Bahkan jalan yang ada dari padat dengan lalu lalang kendaraan.
Tempat itu ialah Gelanggang Generasi Muda (GGM) dan sebuah kantor kreditur di Jalan Ir. H. Juanda, Kecamatan Cianjur, Kabupaten Cianjur.
Namun masih banyak warga Kabupaten Cianjur yang mengetahui bahwa tempat tersebut beberapa puluh tahun lalu merupakan bekas Gudang penyimpan karet.
Setelah pecahnya G30S/PKI pada 30 Septempber 1965 tempat itu menjadi sebuah kamp tahanan politik pada waktu itu
"Ada sekitar 1500 orang yang dituding sebagai anggota PKI, mereka ditahan tahan disana yang kini telah menjadi sebuah gedung olah raga dan kantor swasta," kata Hendi Jo, Jurnalis Sejarah saat dihubugi melalui sambungan telepon.
Menurutnya, sebanyak 1500 orang yang dituduh sebagi anggota PKI tersebut, dijebloskan sebagai tahanan tanpa adanya proses peradilan.
"Selain sebagi tahanan politik pada saat itu, mereka juga ada yang pekerjakan secara paksa, beberapa diantaranya pun ada yang diasingkan ke Pulau Buru," kata dia.
Kontributor : Fauzi Noviandi