SuaraBogor.id - Memasuki tahun baru Islam 1447 Hijriah, umat Muslim di seluruh dunia dianjurkan untuk mengisi momentum ini dengan berbagai amalan kebaikan, baik yang bersifat ucapan (qawliyah) maupun perbuatan (fi’liyah).
Salah satu tradisi unik dan sarat makna spiritual yang masih dijaga oleh sebagian kalangan adalah meminum susu putih pada 1 Muharram.
Tradisi ini bukan hanya sekadar kebiasaan turun-temurun, melainkan juga memiliki dimensi spiritual dan simbolik yang kuat, terutama di kalangan pengikut tarekat dan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah.
Asal-Usul Tradisi Minum Susu Putih pada 1 Muharram
Melansir dari situs NU Jatim, tradisi minum susu putih di awal Muharram diyakini berasal dari salah seorang ulama bernama Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki.
Dalam praktiknya, Sayyid memiliki kebiasaan membagikan susu putih kepada para murid dan jamaahnya setiap kali menyambut datangnya tahun baru Hijriah.
Tindakan ini diyakini mengandung nilai tafa’ul (pengharapan) agar tahun yang baru dipenuhi dengan kebaikan dan keberkahan, sebagaimana putihnya warna susu.
Doa Saat Minum Susu Putih di Awal Muharram
Tak hanya sekadar meminumnya, Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki juga menganjurkan mengiringi amalan ini dengan doa, sebagaimana berikut:
اللهم بارك لنا فيه وزدنامنه
Artinya: “Ya Allah, berkahilah minuman kami dan tambahkanlah darinya (rezeki) pada kami.”
Secara epistemologis, terma tafa’ul memang sudah tidak asing lagi dalam agama Islam. Bahkan, Nabi SAW juga menyukai sebuah bentuk tafa’ul.
Hal ini seperti hadis fi’li yang berbunyi:
كَانَ رسول الله صلى الله عليه وسلم يُحِبُّ الْفَأْلَ الْحَسَنَ، وَيَكْرَهُ الطِّيَرَةَ
Artinya: "Nabi Saw. Itu menyukai tafa’ul yang baik dan membenci tiyarah".
Secara definitif, tafa’ul atau al-fa’lu adalah harapan atau optimisme atas kebaikan dari Allah SWT pada setiap faktor, baik yang sifatnya lemah atau kuat. Tafa’ul ini adalah salah satu manifesto dari bentuk husnuzon kepada Allah SWT.
Secara praksis, tafa’ul sendiri pernah dipraktikkan langsung oleh Nabi SAW, yaitu saat beliau mengubah nama anak kecil yang dirasa kurang pantas menjadi Munzir.
Menurut Abu al-Dawudy, penamaan Nabi kepada anak kecil tersebut adalah bentuk tafa’ul supaya kelak dia menjadi sosok pemberi nasihat atas ilmu yang dimiliki, sesuai dari makna nama itu, atau, banyak bentuk-bentuk tafa’ul yang dapat dijumpai dalam kitab-kitab fikih, seperti tidak dianjurkannya memecah tulang sembelihan binatang aqiqah, atas dasar tafa’ul supaya hidupnya selamat.
Dan dianjurkan pula memasaknya dengan bumbu yang manis, atas dasar tafa’ul supaya kelak si anak berakhlak baik; anjuran menyiram air di atas kuburan dengan air suci dan dingin (bukan air panas), atas dasar tafa’ul supaya Allah mendinginkan tempat semayam terakhirnya, melepas ikatan tali janazah selepas diturunkan ke dalam liang lahat, atas dasar tafa’ul supaya Allah Swt. Meringankan siksaan kuburnya, dan masih banyak lagi yang lain.
Tafa’ul memang dianggap penting dan perlu. Sebab selain merealisaaikan instruksi untuk beriktikad dan berbaik sangka kepada Allah SWT.
Tafa’ul juga akan memantik daya magis-energik kepada setiap diri manusia untuk mengejawantahkan misi dari harapan baik tersebut. Hal ini sesuai rasionalisasi Imam al-Sya’rawi atas hadis di atas, sebagai berikut:
لأن الفَأْل الطيب يُنشّط أجهزة الجسم انبساطاً للحركة
Artinya: “Sebab tafa’ul yang baik akan membangkitkan semangat jiwa untuk memudahkan aktivitas tubuh untuk berbuat baik".
Dengan meminum susu putih pada awal bulan Muharram ini, umat Islam akan senantiasa berharap agar sepanjang tahun ini mendapat keberkahan dan kebaikan seputih susu.
Bersamaan dengan iktikad baik dan optimisme yang kuat, maka secara tidak langsung umat Islam akan terobsesi dan tergugah untuk konsisten melakukan hal-hal baik pula pada tahun ini.