-
Aset desa di Bogor diagunkan dan disita, Mendes PDT koordinasi dengan Kejaksaan Agung untuk penyelesaian cepat.
-
Total 800 hektare tanah dua desa disita terkait BLBI, melanggar UU Desa tentang larangan agunan.
-
Negara harus hadir melindungi hak kepemilikan desa; Mendes prioritaskan warga kembali bercocok tanam di lahan.
SuaraBogor.id - Isu kepemilikan aset desa kembali mencuat, kali ini melibatkan dua desa di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, yang tanahnya secara mengejutkan dijadikan agunan.
Situasi ini mendorong Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Mendes PDT) Yandri Susanto untuk segera berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung demi percepatan penyelesaian masalah yang merugikan masyarakat ini.
Yandri Susanto mengungkapkan bahwa pihaknya akan segera bersilaturahim dengan Jaksa Agung.
"Pengamanan asetnya dari Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Nah, mungkin dalam waktu dekat, saya akan silaturahim dengan Bapak Jaksa Agung, yang diberi mandat oleh negara atas putusannya terkait hal ini pada tahun 1981 untuk menyita itu," kata Yandri dilansir dari Antara.
Baca Juga:Siap Tancap Gas! Tol Bogor Serpong 32,03 KM Dibagi 4 Seksi Krusial, Ini Detail Titik-Titiknya
Dua desa yang menjadi inti permasalahan ini adalah Desa Sukaharja dan Desa Sukamulya di Kabupaten Bogor.
Kasus ini menguak fakta bahwa aset vital desa, termasuk tanah kas desa, telah dijadikan jaminan pinjaman ke bank, sebuah tindakan yang jelas melanggar regulasi yang berlaku.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024 tentang Desa dan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) secara tegas melarang keras aset desa dijadikan sebagai agunan atau jaminan pinjaman bank.
Adanya kasus penjaminan aset desa, bahkan hingga proses pelelangan di Bogor, menunjukkan betapa krusialnya intervensi negara untuk menegakkan aturan dan melindungi hak-hak masyarakat desa.
Total luas aset yang disita mencapai sekitar 800 hektare, dengan rincian 337 hektare di Desa Sukaharja dan 451 hektare di Desa Sukamulya.
Baca Juga:Duel Udara Berujung Nahas, Pemain Persikad Depok Bil'asqan Didiagnosis Ini Setelah Kolaps
Kondisi ini secara langsung mengganggu kehidupan masyarakat, terutama di sektor ekonomi, di mana warga kesulitan memanfaatkan lahan mereka untuk bercocok tanam atau aktivitas produktif lainnya.
Desa Sukaharja, yang telah berdiri sejak tahun 1930, jauh sebelum kemerdekaan Indonesia, kini harus menghadapi kenyataan pahit.
Kepemilikan atas tanahnya terenggut karena terdaftar sebagai aset sitaan akibat Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Mendes Yandri juga menduga adanya kesepakatan yang tidak seharusnya saat tanah tersebut diagunkan. Lebih jauh, pihak bank juga diduga tidak melakukan verifikasi yang tepat, termasuk meninjau langsung lokasi desa.
Hal ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai transparansi dan akuntabilitas dalam proses pengagunan aset negara.
Oleh karena itu, Mendes Yandri menegaskan bahwa negara harus hadir. Fokus utamanya adalah mewujudkan regulasi yang bisa menjadi payung hukum kuat untuk melindungi hak kepemilikan desa.
Yandri optimis bahwa seluruh kementerian dan lembaga akan berkolaborasi erat untuk menyelamatkan aset masyarakat di kedua desa ini.