SuaraBogor.id - Daulat pangan tidak semata berbicara soal ketahanan pangan, tetapi juga menyangkut keadilan ekologis, pengakuan terhadap pengetahuan lokal, serta upaya kolektif menyelamatkan bumi dari krisis yang terus memburuk.
Selama ratusan bahkan ribuan tahun, masyarakat adat di Nusantara telah membuktikan bahwa praktik dan kearifan lokal mereka mampu memenuhi kebutuhan pangan tanpa merusak alam.
Sayangnya, modernisasi, ketimpangan agraria, penyingkiran sistematis, serta dampak perubahan iklim telah menggerus peran vital masyarakat adat dalam menjaga keberlanjutan ekologi dan kedaulatan pangan.
Demikian disampaikan oleh Muhamad Burhanudin, Manajer Advokasi Kebijakan Lingkungan Yayasan KEHATI, dalam talkshow bertajuk “Daulat Pangan Nusantara: Dari Ragam Budaya Memuliakan Pangan sampai Peluang Keberlanjutan untuk Memuliakan Bumi” yang digelar oleh Indonesian Society of Botanical Artists (IDSBA) dan didukung oleh Yayasan KEHATI.
Baca Juga: 11 PSK MiChat di Bogor Ditangkap, 535 Botol Miras Diamankan
“Melestarikan pangan lokal bukan hanya soal menjaga warisan budaya, tetapi juga mempertahankan fungsi ekologis hutan, air, dan tanah. Ini adalah investasi untuk masa depan, dan masyarakat adat kita telah mempraktikkannya sejak lama,” tegas Burhanudin, Sabtu (17/5/2025).
Indonesia, lanjutnya, merupakan rumah bagi sekitar 50–70 juta masyarakat adat atau sekitar 18–25% dari total populasi.
Mereka memainkan peran strategis dalam menjaga ketahanan pangan dan kelestarian lingkungan melalui sistem pangan lokal berbasis kearifan tradisional.
Sistem seperti ladang berpindah, subak, repong damar, sasi, lubuk larangan, dan praktik agroekologis lainnya terbukti menjaga biodiversitas sekaligus menyediakan pangan berkelanjutan.
Dengan potensi 30,1 juta hektare hutan adat, masyarakat adat mampu menyediakan pangan tanpa merusak lingkungan, serta menjamin ketahanan pangan jangka panjang berbasis keadilan ekologis.
“Kontribusi mereka sangat vital dalam menghadapi krisis iklim dan membangun masa depan yang berdaulat dan berkelanjutan,” ujar Burhanudin, yang juga merupakan Inisiator Forum Dialog Konservasi Indonesia (FDKI).
Baca Juga: DPRD Kota Bogor dan Pemerintah Kota Satu Visi Berantas Minuman Beralkohol Ilegal
Namun, arah modernisasi pertanian di Indonesia justru membawa dampak negatif. Varietas benih lokal menghilang, tergantikan oleh benih homogen.
Berita Terkait
-
11 PSK MiChat di Bogor Ditangkap, 535 Botol Miras Diamankan
-
DPRD Kota Bogor dan Pemerintah Kota Satu Visi Berantas Minuman Beralkohol Ilegal
-
Penutupan Masa Sidang ke-II Tahun 2025, DPRD Kota Bogor Sampaikan Laporan Kinerja
-
Curug Citambur dan Rumah Abah Jajang, Pesona Alam dan Kearifan Lokal yang Memikat
Terpopuler
- 5 Rekomendasi HP Samsung Murah Rp2 Jutaan: RAM Gede, Kamera Terbaik
- Cari Mobil Bekas Harga Rp35 Jutaan? Ini Rekomendasi Terbaik, Lengkap dengan Spesifikasinya!
- Dulu Hanya Sultan yang Sanggup, Kini Jadi Mobil Bekas Murah: Ini Deretan Sedan Mewah Kelas Atas
- 8 Mobil Bekas Murah 7 Seater Rp60 Jutaan, Pajaknya Lebih Murah dari Yamaha XMAX
- 5 HP Redmi Murah RAM 8 GB, Harga Sejutaan di Mei 2025
Pilihan
-
Puan Tolak Relokasi Warga Gaza, PCO: Pemerintah Cuma Mau Mengobati, Bukan Pindahkan Permanen
-
Wacana 11 Pemain Asing di Liga 1 Dibandingkan dengan Saudi Pro League
-
Dewi Fortuna di Sisi Timnas Indonesia: Lolos ke Piala Dunia 2026?
-
7 Rekomendasi Sunscreen Terbaik, Super Murah Pas buat Kantong Pelajar
-
Mitsubishi Xpander Terbaru Diluncurkan, Ini Daftar Pembaruannya
Terkini
-
Misteri Bungkamnya Developer Grand Alifia Bogor Usai Dipolisikan Warga
-
Kearifan Lokal Terancam? Modernitas dan Ketidakadilan Gerogoti Peran Masyarakat Adat
-
11 PSK MiChat di Bogor Ditangkap, 535 Botol Miras Diamankan
-
DPRD Kota Bogor dan Pemerintah Kota Satu Visi Berantas Minuman Beralkohol Ilegal
-
Penutupan Masa Sidang ke-II Tahun 2025, DPRD Kota Bogor Sampaikan Laporan Kinerja