Andi Ahmad S
Selasa, 16 September 2025 | 15:28 WIB
Ilustrasi masjid di Bogor. [Pixabay]
Baca 10 detik
  • Prioritas Mediasi untuk Mencari Jalan Keluar
  • Perpanjangan Status Konflik Tanpa Batas Waktu
  • Dua Kubu dengan Argumen Kuat yang Saling Berhadapan
[batas-kesimpulan]

SuaraBogor.id - Keputusan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Kota Bogor untuk kembali memperpanjang status keadaan konflik pada pembangunan Masjid Imam Ahmad bin Hanbal (MIAH) bukan sekadar masalah administrasi.

Di baliknya, tersimpan sebuah dilema fundamental yang kerap terjadi di ruang publik Indonesia benturan antara supremasi hukum dan kehendak sosial.

Pemasangan spanduk penutupan kawasan oleh Satpol PP pada Minggu lalu menjadi simbol bahwa nasib masjid di Jalan Kolonel Ahmad Syam ini masih jauh dari kata selesai.

Plt Kasatpol PP Kota Bogor, Rahmat Hidayat, menyatakan langkah ini diambil untuk memberi ruang bagi mediasi yang dimotori Tim Badan Mediator Nasional dan Ombudsman.

“Melarang setiap orang untuk memasuki kawasan pembangunan Masjid Imam Ahmad bin Hanbal untuk menunggu hasil kesepakatan mediasi,” ujar Rahmat.

Namun, mengapa sebuah proyek yang secara hukum sudah sah perlu dimediasi tanpa batas waktu? Jawabannya terletak pada akar konflik yang membelah dua kutub legalitas formal melawan penolakan sosial yang mengakar.

Dari kacamata hukum, posisi panitia pembangunan MIAH sangatlah kuat. Mereka tidak membangun secara ilegal. Kunci utama kekuatan mereka adalah:

Izin Mendirikan Bangunan (IMB)

Panitia telah mengantongi IMB resmi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Bogor. Secara prosedural, ini adalah tiket emas untuk memulai dan menyelesaikan pembangunan fisik.

Baca Juga: Status Konflik Pembangunan Masjid di Bogor Diperpanjang Tanpa Batas Waktu, Mediasi Jadi Jalan Buntu?

Kemenangan di PTUN

Pemasangan spanduk oleh Plt Kasatpol PP Kota Bogor Rahmat Hidayat di lokasi pembangunan Masjid Imam Ahmad bin Hanbal (MIAH) di Jalan Kolonel Ahmad Syam, Kelurahan Tanah Baru, Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor, Jawa Barat. ANTARA/HO-Pemkot Bogor

Ketika IMB tersebut coba digugat dan dibekukan, pihak MIAH melawan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung dan menang.

Putusan ini bersifat inkracht atau berkekuatan hukum tetap, yang semestinya wajib dihormati dan dilaksanakan oleh semua pihak, termasuk pemerintah daerah.

Secara teori, dengan dua pilar hukum ini, pembangunan seharusnya berjalan mulus. Namun, di lapangan, realitas berkata lain. Kertas berisi putusan pengadilan ternyata tak cukup kuat untuk meredam suara dari akar rumput.

Penolakan dari sebagian warga sekitar menjadi tembok penghalang yang sesungguhnya. Aspirasi mereka tidak bisa diabaikan begitu saja, karena menyangkut isu yang lebih dalam dari sekadar pendirian sebuah gedung. Beberapa alasan utama penolakan meliputi:

Kekhawatiran Ideologis

Muncul kekhawatiran dari sebagian warga bahwa masjid ini akan menjadi pusat penyebaran paham keagamaan tertentu (sering disebut Wahabi) yang dianggap tidak selaras dengan tradisi dan kultur religius mayoritas masyarakat sekitar.

Dugaan Cacat Prosedur Sosial

Meskipun IMB telah terbit, proses persetujuan dari warga sekitar dinilai bermasalah. Ada klaim bahwa dukungan yang didapat bukan berasal dari warga asli yang tinggal di ring satu lokasi pembangunan.

Harmoni dan Stabilitas Sosial

Isu ini bukan lagi sekadar soal setuju atau tidak setuju, tetapi telah menjadi simbol potensi perpecahan di tengah masyarakat. Pemerintah daerah khawatir jika pembangunan dipaksakan, gesekan horizontal yang lebih besar bisa terjadi.

Di sinilah posisi Pemkot Bogor menjadi sangat pelik. Di satu sisi, mereka terikat oleh kewajiban untuk menegakkan putusan PTUN dan menghormati IMB yang mereka terbitkan sendiri. Mengabaikannya berarti mencederai prinsip negara hukum.

Di sisi lain, sebagai kepala daerah, wali kota memiliki tanggung jawab utama untuk menjaga ketertiban umum dan stabilitas sosial. Membiarkan pembangunan yang berpotensi memicu konflik terbuka adalah sebuah kegagalan dalam menjaga kondusivitas wilayah.

Langkah memperpanjang status keadaan konflik tanpa batas waktu, seperti yang dijelaskan Rahmat, adalah jalan tengah yang diambil Pemkot.

“Pemasangan spanduk perpanjangan penetapan status keadaan konflik yang sekarang tidak ada batas waktu, tetapi menunggu hasil kesepakatan mediasi sampai ada kesepakatan dari kedua belah pihak,” ujarnya.

Kebijakan ini, meski dikritik sebagai bentuk ketidaktegasan, adalah upaya untuk membekukan situasi agar tidak meledak, sambil berharap mediasi bisa menemukan formula kompromi yang mustahil ditemukan di ruang pengadilan.

Load More