Buruh di Bogor Mengeluh: BBM Naik, UMK Tak Kunjung Baik

Diketahui, para buruh itu menuntut kenaikan upah sebesar 13 persen di tahun 2023 mendatang.

Andi Ahmad S
Selasa, 29 November 2022 | 14:43 WIB
Buruh di Bogor Mengeluh: BBM Naik, UMK Tak Kunjung Baik
Ilustrasi buruh. [Suara.com/Alfian Winanto]

SuaraBogor.id - Sejumlah buruh masih menunggu penetapan nasib mereka pada Rapat Pleno Dewan Pengupahan Kabupaten yang berlangsung di Dinas Tenaga kesehatan (Disnaker) Kabupaten Bogor, Selasa (29/11/2022).

Pasalnya, para butuh itu menunggu penetapan Upah Minimum Kabupaten atau UMK Bogor dari Dewan Pengupahan Kabupaten Bogor untuk direkomendasikan di tingkat provinsi Jawa Barat.

Diketahui, para buruh itu menuntut kenaikan upah sebesar 13 persen di tahun 2023 mendatang.

"Jika tidak naik 13 persen, kita ada nilai yang kita kunci, 13 persen itu kan tuntutan tapi hasilnya seperti apa nilainya hasilnya," kata koordinator Serikat Pekerja Metal Indonesia, Mulyana.

Baca Juga:Video 46 Detik Anak Buahnya Diduga Mesum di Mapolsek Viral, Kapolres Bogor: Itu Lagi Sakit

Namun, jika hasil yang keluar dari Dewan Pengupahan Kabupaten itu tidak sesuai dengan nilai yang dituntut atau yang telah mereka patok, para buruh akan menuntut langsung ke Plt Bupati Bogor.

"Temen-temen di dalam dari unsur Serikat mereka tidak akan langsung taken, mereka akan koordinasi dengan aliansi lain. Kita akan tetap nuntut nilai itu (13 persen). Tapi kalau nilainya sangat jauh dengan yang diminta pemerintah, kita akan koordinasi dengan Bupati agar dia mau taken yang kita tuntut," tegasnya.

Ia menyebut, tuntutan diberikan lantaran harga kebutuhan pokok yang terus naik setiap tahunnya. Sehingga, kenaikan upah pun dirasa sangat dibutuhkan.

"(Kenaikan UMK) itu sangat berdampak pada kita saat BBM naik, tapi upah dibatasi kenaikannya. Karena setiap tahun ada setiap tahun kan daya beli selalu naik dan kebutuhan pun kan naik tiap tahun," paparnya.

Sebelumnya, para buruh menuntut kenaikan UMK sebesar 13 persen atau dari Rp4,2 juta ke Rp4,6 juta pada tahun 2023.

Baca Juga:Nia Ramadhani Bagi Kisah Kelam dan Bangkit lewat Novel Cerita Ade

"Tuntutan hari ini adalah mengenai kenaikan UMK 2023 sebesar 13 persen atau dari Rp4,2 juta menjadi Rp4,6 juta," kata Ketua DPC Federasi Serikat Pekerja Kimia Energi dan Petambangan (FSPKEP) Kabupaten Bogor, Mujimin, Jumat (11/11/2022).

Namun kenaikan UMK yang tiap tahun diminta para buruh di Kabupaten Bogor tidak juga naik sejak dua tahun terakhir atau sejak Peraturan Pemerintah (PP) nomor 36 tahun 2021 ditetapkan.

"Tahun kemarin (2021) perusahaan jadi mengeluarkan instruksi terhadap semua kepala daerah jangan sampai menetapkan upah itu tidak berdasarkan PP 36, padahal kami, buruh sendiri menolak PP 36 turunan dari UU cipta kerja," ungkapnya.

Sementara, Kabid Hubungan Industrial Disnaker Kabupaten Bogor, Muhammad Idris mengaku akan menindaklanjuti usulan kenaikan UMK Bogor dari para buruh itu.

"Intinya semua yang mereka inginkan kita tampung sebagai aspirasi yang kemudian kita ajukan ke provinsi. Kita tindak lanjuti di rapat dewan pengupahan," ungkapnya.

Sebab, kata Idris pemerintah Kabupaten Bogor tidak bisa menentukan kenaikan UMK. Menurutnya kebijakan kenaikan UMK ada di ranah pemerintah Provinsi Jawa Barat setelah PP 36 tahun 2021 itu diberlakukan.

"Terhitung 2021 itu ditentukan oleh pusat bukan dari DPK (Dewan Pengupahan Kabupaten). Sekarang kita memfasilitasi saja. Mudah-mudahan 2023 melalui usulan serikat, kita berikan rekomendasi ke Pemprov Jabar," paparnya.

Kendati demikian, pihaknya juga menekankan kepada para buruh untuk memberikan alasan yang jelas terkait rekomendasi kenaikan UMK itu.

"Makanya usulan dari Serikat itu harus kuat, ada dasar hukumnya. Jadi argumentasi naik 13 persen apa dasarnya. Karena dasar hukum mereka menggunakan aturan yang lama, PP nomor 78 tahun 2015 tenang pengupahan," ungkapnya.

Sementara, PP yang berlaku saat ini yakni PP nomor 36 tahun 2021 atau turunan dari UU Cipta kerja. Artinya, rekomendasi yang diajukan para buruh tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku saat ini.

"Seharusnya PP 36 tidak keluar (diberlakukan) dulu karena sedang direvisi, tapi itu PP diberlakukan, itu lah yang jadi masalah sampai saat ini, berbenturan terus," paparnya.

Kontributor : Egi Abdul Mugni

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak