SuaraBogor.id - Menjelang peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Kemerdekaan RI, sebuah prosesi simbolis namun sarat makna berlangsung di sudut paling barat Kabupaten Bogor.
Bupati Bogor, Rudy Susmanto, memimpin langsung penjemputan bendera pusaka dari Desa Malasari, sebuah wilayah yang pernah menjadi pusat pemerintahan darurat pada masa revolusi fisik.
Bendera tersebut kemudian dibawa dalam kirab menuju Pendopo Bupati di Cibinong untuk dikibarkan pada puncak upacara 17 Agustus 2025 di Lapangan Tegar Beriman.
Namun, bagi Rudy Susmanto, perjalanan ini jauh melampaui seremoni tahunan. Ini adalah cara untuk merawat ingatan kolektif bangsa.
Baca Juga:Bangun 3.000 Rutilahu, Pemkab Bogor Anggarkan Rp20 Juta per Rumah
"Kain merah putih ini adalah kehormatan bangsa. Ini bukan hanya simbol, tetapi wujud perjuangan yang diperjuangkan dengan darah dan air mata oleh para pahlawan," ujar Rudy di Bogor, Minggu(10/8/2025).
Untuk memahami pentingnya prosesi ini, kita perlu kembali ke tahun 1948. Desa Malasari, yang kini berbatasan langsung dengan Sukabumi dan Lebak, Banten, dipilih menjadi pusat pemerintahan darurat Kabupaten Bogor.
Keputusan ini diambil di tengah Agresi Militer Belanda II yang memaksa pemerintah daerah berpindah-pindah untuk menghindari serangan.
Rumah sejarah eks Pendopo Bupati Bogor pertama di Malasari menjadi benteng pertahanan sipil. Dari lokasi inilah Bupati Raden Ipik Gandamana memimpin pemerintahan selama kurang lebih lima bulan (1948–1950).
Pusat Komando Sipil: Sejak 16 Februari 1949, Ipik Gandamana mengangkat para lurah di 16 desa dari pendopo darurat ini.
Baca Juga:Pemkab Bogor, Polres dan Kodim Bersinergi Perluas Dapur Makan Bergizi untuk Pelajar
Instruksi Pusat: Pada awal Maret 1949, Wakil Gubernur Jawa Barat Mr. Yusuf Adinata datang langsung ke Malasari, membawa instruksi pembentukan pamong praja di seluruh Kabupaten Bogor.
Lokasi Strategis: Terlindungi oleh perbukitan, lokasi ini dianggap aman dari serangan musuh, menjadikannya saksi bisu perjuangan mempertahankan kedaulatan.
Bangunan pendopo ini kini telah ditetapkan sebagai cagar budaya berdasarkan keputusan Pemerintah Kabupaten Bogor pada 8 Oktober 1949.
Momentum historis ini dimanfaatkan Rudy Susmanto untuk menyampaikan dua pesan penting: persatuan dan pembangunan. Ia mengajak masyarakat, khususnya generasi muda, untuk meneladani kekompakan para pendiri bangsa yang tak pernah terpecah belah oleh ego sektoral.
"Hatta tidak pernah melawan Soekarno, Soekarno tidak pernah melawan Sudirman. Prinsip mereka jelas, benteng pertahanan terakhir bangsa adalah persatuan, dan musuh utamanya adalah perpecahan," katanya.
Lebih dari sekadar retorika, Rudy memberikan instruksi tegas kepada jajarannya. Ia tidak ingin Malasari hanya dikenang sebagai tempat bersejarah yang diziarahi setahun sekali. Ia menuntut adanya perhatian nyata terhadap kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut.