-
Ratusan petani Bogor demo Hari Tani Nasional, tuntut pemerintah usut tuntas perampasan lahan.
-
Konflik agraria di Bogor mencerminkan kegagalan pemerintah melindungi hak petani dari korporasi.
-
Tuntutan utama demonstran: hentikan perampasan dan kriminalisasi petani, serta wujudkan reformasi agraria.
SuaraBogor.id - Ratusan petani, masyarakat sipil, dan mahasiswa membanjiri jalanan Kabupaten Bogor hari ini dalam sebuah aksi demonstrasi massal yang bertepatan dengan Hari Tani Nasional (HTN) 2025.
Dengan semangat perjuangan, mereka melakukan longmarch dari kantor ATR/BPN menuju gerbang masuk Tegar Beriman, kompleks pemerintahan Kabupaten Bogor.
Aksi ini bukan sekadar seremonial peringatan, melainkan untuk memprotes Hari Tani Nasional (HTN) 2025 yang dianggap masih belum sesuai dengan kelahiran Undang-Undang Pokok Agraria.
Koordinator aksi, Opet, mengungkapkan keprihatinan mendalam terkait kondisi agraria di wilayah tersebut.
Baca Juga:Tanah Ribuan Warga Sukaharja Bogor Terancam Disita Satgas BLBI
Ia menjelaskan bahwa masih banyak lahan petani di Kabupaten Bogor yang diserobot sepihak oleh korporasi dan instansi pemerintahan tanpa adanya solusi dari pemerintah Kabupaten Bogor.
Ironisnya, di momen yang seharusnya menjadi refleksi atas hak-hak petani, realitas di lapangan justru jauh dari cita-cita keadilan agraria.
Para demonstran membawa serta 11 tuntutan krusial terkait lahan petani dan hak-hak rakyat di Kabupaten Bogor yang hingga kini belum menemukan titik terang.
Tuntutan-tuntutan ini mencerminkan akar permasalahan konflik agraria yang kompleks dan berlarut-larut:
1. Menghentikan perampasan tanah rakyat dengan mencabut semua klaim tanah oleh militer, lembaga pemerintah, dan korporasi pada seluruh tanah yang menjadi ruang hidup rakyat.
Baca Juga:4 Fakta Terungkap dari Provokator Brimob Cikeas yang Catut Nama Anak TNI
2. Menuntut agar reformasi agraria dijalankan secara adil, yang berarti merombak struktur kepemilikan, penguasaan, pemanfaatan, dan penggunaan Sumberdaya Agraria secara adil.
3. Menghentikan kriminalisasi terhadap petani penggarap dan pegiat lingkungan hidup.
4. Menarik TNI-POLRI dari konflik agraria dan segala bentuk keterlibatan dalam ranah sipil.
5. Menuntaskan redistribusi tanah eks HGU bagi petani penggarap lahan HGU di Kecamatan Nanggung.
6. Meminta TNI AU diusir dari tanah rakyat di Desa Sukamulya Rumpin.
7. Membatalkan Hak Guna Bangunan (HGB) di Lembahluhur dan mengembalikan tanah tersebut kepada rakyat.
8. Mengembalikan tanah rakyat di Hambalang yang telah diambil oleh PTPN.
9. Menghapus klaim Perhutani di Desa Tenjo Kecamatan Tenjo.
10. Menghentikan penghancuran tanah Iwul Parung.
11. Memberikan hak atas tanah kepada rakyat di Iwul Parung.
Opet menegaskan bahwa di HTN 2025 ini, banyak petani di Kabupaten Bogor yang mengalami perampasan tanah secara sepihak.
"Tuntutan yang kami sampaikan adalah kembali tanah kepada petani, kembalikan kepada rakyat yang selama ini diberikan oleh penguasa kepada pihak yang kemudian kita anggap sebagai perampas tanah rakyat yaitu korporasi," jelasnya.
Pernyataan ini menunjukkan betapa fundamentalnya isu kepemilikan tanah bagi kehidupan dan mata pencarian petani.
Para pengunjuk rasa secara lugas meminta pemerintah untuk berkomitmen penuh dalam menegakkan reformasi agraria yang seutuhnya.
Harapan mereka adalah agar tidak ada lagi tanah rakyat yang diambil sewenang-wenang oleh pihak manapun, termasuk korporasi dan institusi pemerintah.
"Tuntutan lebih umumnya, di hari tani ini, yang diperingati setiap tahun, kita ingin menuntut kembali komitmen menegara terhadap reformasi Agraria," pungkas Opet.
Seruan ini adalah pengingat bagi para pembuat kebijakan bahwa Hari Tani Nasional bukan hanya tanggal merah di kalender, melainkan momentum krusial untuk mengevaluasi dan memastikan bahwa hak-hak agraria rakyat benar-benar terlindungi dan terpenuhi.
Konflik agraria yang tak kunjung usai di berbagai daerah, termasuk Bogor, menjadi cerminan nyata bahwa komitmen negara terhadap reformasi agraria masih perlu dipertanyakan dan diperkuat.
Kontributor : Egi Abdul Mugni