-
Satu orang pengumpul utama: KPK menduga satu orang adalah pengumpul utama uang korupsi kuota haji Kemenag.
-
Melibatkan banyak pihak: Kasus korupsi ini melibatkan biro perjalanan, asosiasi, dan oknum Kemenag.
-
Kerugian negara besar: KPK menemukan potensi kerugian negara lebih dari Rp1 triliun dari kasus ini.
SuaraBogor.id - Aroma busuk korupsi dalam penyelenggaraan ibadah haji kembali tercium tajam, kali ini menyeret penentuan kuota dan operasional haji pada Kementerian Agama (Kemenag) tahun 2023-2024.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara mengejutkan mengungkapkan bahwa hanya ada satu orang yang menjadi pengumpul utama uang haram terkait kasus ini, yang mengindikasikan struktur korupsi yang terpusat dan terorganisir.
Kasus dugaan korupsi haji ini bukan hanya persoalan angka, melainkan pengkhianatan terhadap kepercayaan umat yang menitipkan amanah ibadah suci mereka.
Kerugian keuangan negara dalam kasus ini diperkirakan mencapai angka fantastis, lebih dari Rp1 triliun, menempatkan integritas Kemenag dan sistem haji nasional dalam sorotan tajam.
Baca Juga:Imbas Kinerja Buruk dan Kasus Korupsi, Pemprov Jabar Putus Kontrak Pengelolaan TPPAS Lulut Nambo
Pengungkapan ini datang di tengah investigasi intensif yang dilakukan KPK, yang juga telah menjerat nama-nama penting dan memicu pencegahan bepergian ke luar negeri terhadap beberapa individu, termasuk mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas.
Skandal ini semakin memperkeruh citra penyelenggaraan haji Indonesia yang kerap dihantam isu serupa, dan kini menuntut transparansi serta akuntabilitas penuh dari pihak-pihak yang terlibat, mulai dari biro perjalanan hingga pejabat tinggi Kemenag. Publik menanti langkah tegas KPK untuk membongkar tuntas praktik culas yang mengeksploitasi ibadah suci umat.
Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, dengan gamblang menjelaskan mekanisme aliran uang terkait kasus kuota haji ini. Menurutnya, praktik korupsi bermula dari basis paling bawah dalam ekosistem haji.
“Ya pasti ujungnya pada satu orang pengumpul utama,” ujar Asep Guntur Rahayu dilansir dari Antara.
Pernyataan ini mengindikasikan adanya orkestrator tunggal yang menjadi pusat pengumpulan dana haram tersebut.
Baca Juga:Fakta-Fakta Mencengangkan Istana Riza Chalid di Rancamaya Bogor yang Disita Kejagung
Asep menguraikan bahwa uang terkait kasus kuota haji ini awalnya bermula dari biro-biro perjalanan haji yang mengumpulkan dan menyetorkannya kepada asosiasi.
Ini menunjukkan adanya konsolidasi dana di tingkat asosiasi biro perjalanan haji. Setelah terkumpul di asosiasi, uang tersebut kemudian diserahkan secara bertingkat kepada oknum-oknum di Kementerian Agama.
"Level pelaksana, tingkatan dirjen (direktur jenderal), hingga pada tingkatan yang lebih atasnya lagi," kata Asep.
Pola berlapis ini menggambarkan sistem korupsi yang terstruktur dan melibatkan berbagai level jabatan di Kemenag, mulai dari staf pelaksana yang mengurus administrasi hingga pejabat setingkat direktur jenderal, bahkan hingga tingkatan yang lebih tinggi yang masih dalam penyelidikan.
Alur uang ini menunjukkan bahwa korupsi haji bukanlah tindakan sporadis, melainkan sebuah praktik sistematis yang memanfaatkan celah dalam pengelolaan kuota dan penyelenggaraan ibadah haji.
Penyelidikan kasus dugaan korupsi kuota dan penyelenggaraan ibadah haji ini telah bergulir cukup panjang di KPK.
Lembaga anti-rasuah itu pertama kali mengumumkan dimulainya penyidikan pada 9 Agustus 2025. Pengumuman ini menjadi penanda keseriusan KPK dalam mengusut tuntas kasus yang merugikan keuangan negara dan kepercayaan publik.
Sebelum pengumuman penyidikan, KPK terlebih dahulu meminta keterangan kepada mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dalam tahap penyelidikan kasus ini, yakni pada 7 Agustus 2025.
Pemanggilan mantan Menag ini menunjukkan bahwa KPK tidak ragu menyentuh level tertinggi dalam jajaran Kemenag untuk mengungkap kebenaran.
Pada saat itu, KPK juga menyampaikan sedang berkomunikasi intensif dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI untuk menghitung kerugian keuangan negara yang ditimbulkan oleh kasus kuota haji tersebut.
Keterlibatan BPK sangat krusial untuk memastikan angka kerugian negara dihitung secara akurat dan valid.
Tak lama setelah itu, pada 11 Agustus 2025, KPK mengumumkan temuan awal yang mengejutkan: penghitungan awal kerugian negara dalam kasus tersebut mencapai Rp1 triliun lebih.
Angka fantastis ini mengukuhkan besarnya skala korupsi yang terjadi. Bersamaan dengan pengumuman tersebut, KPK juga melakukan tindakan pencegahan terhadap tiga orang untuk bepergian ke luar negeri, salah satunya adalah mantan Menag Yaqut Cholil Qoumas.
Pencegahan ini merupakan langkah standar KPK untuk memastikan para pihak terkait tidak melarikan diri dan selalu kooperatif dalam proses hukum.
Perkembangan signifikan lainnya muncul pada 18 September 2025, di mana KPK menduga sebanyak 13 asosiasi dan 400 biro perjalanan haji terlibat dalam kasus korupsi ini.
Angka keterlibatan yang masif ini menggambarkan betapa luasnya jaringan korupsi yang telah merambah sektor penyelenggaraan ibadah haji.
Keterlibatan banyak pihak ini tentu akan memperpanjang dan memperumit proses penyelidikan, namun sekaligus menunjukkan komitmen KPK untuk tidak berhenti pada satu atau dua pelaku saja.
Selain ditangani oleh KPK, kasus dugaan korupsi penyelenggaraan ibadah haji ini juga menjadi sorotan tajam di ranah legislatif.
Pansus Angket Haji DPR RI sebelumnya juga menyatakan pihaknya telah menemukan sejumlah kejanggalan dalam penyelenggaraan ibadah haji tahun 2024.
Temuan DPR ini semakin memperkuat dugaan adanya praktik-praktik yang tidak sesuai prosedur dan berpotensi merugikan negara serta calon jemaah haji.
Poin utama yang disorot Pansus adalah perihal pembagian kuota 50 berbanding 50 dari alokasi 20.000 kuota tambahan yang diberikan Pemerintah Arab Saudi. Pada saat itu, Kementerian Agama membagi kuota tambahan tersebut menjadi 10.000 untuk haji reguler dan 10.000 untuk haji khusus.
Pembagian yang merata ini, menurut Pansus, tidak sesuai dengan semangat dan ketentuan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Undang-undang tersebut secara jelas mengatur bahwa kuota haji khusus sebesar 8 persen, sedangkan 92 persen diperuntukkan bagi kuota haji reguler.
Penyimpangan dalam pembagian kuota ini menjadi indikasi kuat adanya kebijakan yang menguntungkan pihak-pihak tertentu, terutama biro-biro perjalanan haji khusus, yang seringkali menawarkan paket dengan harga lebih tinggi.
Ketidaksesuaian ini tidak hanya melanggar undang-undang, tetapi juga berpotensi menciptakan ketidakadilan bagi calon jemaah haji reguler yang harus menunggu antrean panjang.
Temuan Pansus ini menambah dimensi politis pada kasus korupsi haji, menunjukkan bahwa masalah ini bukan hanya terkait penyimpangan dana, tetapi juga penyimpangan kebijakan yang menguntungkan segelintir elite.
Kasus dugaan korupsi kuota dan penyelenggaraan ibadah haji ini menjadi ujian integritas bagi seluruh elemen pemerintah dan penegak hukum.
KPK dihadapkan pada tugas berat untuk membongkar jaringan korupsi yang luas dan berlapis, sementara DPR melalui Pansus Angketnya terus mengawal dan menyoroti kejanggalan-kejanggalan kebijakan.
Harapan publik sangat besar agar kasus ini dapat dituntaskan seadil-adilnya, membersihkan citra Kemenag, dan mengembalikan kepercayaan umat terhadap penyelenggaraan ibadah haji yang bersih dan transparan.