Diperkuat dengan hasil penelitian Dr. Endes N. Dahlan, Dosen Fakultas Kehutanan IPB, yang mengatakan bahwa pohon Trembesi adalah penyerap polutan terbaik. Satu pohon Trembesi yang lebar kanopinya telah mencapai 15 m, mampu menyerap polutan atau gas CO2 sebanyak 28,5 ton per tahun.
Pohon ini termasuk jenis tanaman “die hard”. Dapat tumbuh di tempat yang tandus dan di tempat yang lembab atau basah, di daerah tropis yang tumbuh hingga ketinggian 600 meter diatas permukaan laut. Oleh sebab itu sangat cocok untuk penghijauan kota.
Selain Trembesi, saya juga membudidayakan pohon endemik langka Indonesia lainnya seperti Ulin, Eboni, Torem, Palaka, Rao, Cendana, dan Pule yang sudah sulit ditemukan.
Pohon Palaka saya jumpai di Maluku. Usia pohonnya diperkirakan 400 tahun, dengan keliling banir sekitar 30 rentang tangan orang dewasa, dan ketinggiannya mencapai 40 meter. Demikian juga Pule yang saya temukan di Markas Lantamal Ambon. Diameter batangnya lebih dari 3 meter. Dengan ketinggian sekitar 30 meter. Pohon ini mungkin menjadi salah satu saksi sejarah kejadian gempa dan tsunami yang melanda Ambon pada tahun 1674 sesuai dengan tulisan Rumphius.
Baca Juga:2.500 Orang Meninggal di Pulau Buru Maluku, Darah Warga Mengandung Merkuri
Berkat pengetahuan tentang tanaman, saya banyak terbantu ketika ditugaskan sebagai Kepala BNPB. Untuk mitigasi daerah longsor dengan kemiringan lereng diatas 30 derajat, bisa menanam beberapa jenis pohon berakar kuat seperti Sukun, Aren, Alpukat, dan Kopi. Untuk lahan rawan longsor dengan kemiringan yang lebih curam, bisa ditanam Vetiver atau akar wangi.
Untuk menghindari kerusakan akibat kebakaran hutan dan lahan, bisa menanam pohon Laban, Sagu, dan Aren.
Untuk mereduksi dampak tsunami, bisa menanam pohon Palaka, Beringin, Butun, Nyamplung, Bakau, Waru, Jabon, Ketapang dan Cemara Udang yang memiliki akar kuat.
Artinya, ada banyak jenis vegetasi di tanah air, bila dimanfaatkan secara maksimal, dapat mengurangi risiko timbulnya korban jiwa ketika terjadi bencana. Mitigasi berbasis ekosistem harus menjadi strategi utama kita dalam menghadapi potensi bencana, mengingat Bank Dunia menyebutkan bahwa Indonesia adalah salah satu dari 35 negara dengan tingkat risiko ancaman bencana tertinggi di dunia.
Hadirin peserta sidang terbuka yang mulia,
Sesaat sebelum berangkat ke Maluku untuk menjadi Pangdam XVI/Pattimura, saya dipesan oleh Menteri LHK, Ibu Siti Nurbaya agar bisa membantu mengatasi kerusakan lingkungan akibat penambangan emas liar di Gunung Botak, Pulau Buru, Maluku.
Langkah-langkah yang Saya lakukan adalah meminta tim Kesdam XVI/Pattimura di bawa pimpinan Kolonel dr. Agus untuk mengambil sampel ikan dan biota laut di Teluk Kayaeli, Pulau Buru. Hasilnya, pada beberapa sampel ditemukan kadar merkuri dan sianida yang melebihi ambang batas.
Baca Juga:Doni Monardo Geram Banyak Turis Langgar Protokol Kesehatan di Bali
Saya juga meminta dilakukan pemeriksaan darah terhadap warga di sekitar Gunung Botak dan di lokasi pengolahan tambang Merkuri di Negeri Iha dan Negeri Luhu, Seram bagian barat. Hasilnya, sebagian besar penduduk yang diambil darahnya juga memiliki kadar merkuri melebihi ambang batas.
Di sekitar Gunung Botak, sejumlah ternak mati, seperti kambing, kerbau, sapi, bahkan hewan peliharaan seperti anjing. Termasuk laporan ditemukannya buaya mati di sungai dan pantai.
Saya juga mendapatkan laporan bahwa lebih dari 2.500 orang meninggal akibat longsor dan pertikaian selama periode 2010-2015.
Sampai akhirnya Gunung Botak berhasil ditutup pada tanggal 14 November 2015 berkat Kerjasama tim dari KLHK, Pemda, Polda, dan masyarakat, serta media.
Saya juga melaporkan kepada Presiden Jokowi tentang bahaya merkuri bila dibiarkan. Sebab limbah merkuri bermuara ke laut. Ikan dan biota laut lainnya akan tercemar dan tentunya mengakibatkan mereka yang mengkonsumsi akan terganggu kesehatannya dalam jangka panjang.
Bulan Agustus 2017, atas permintaan Menteri LHK dan atas ijin Panglima TNI, Saya diundang mengikuti Rapat di Komisi VII DPR RI, yang membahas RUU pengesahan Minamata Convention on Mercury. Indonesia merupakan salah satu negara yang ikut menandatangani Konvensi Minamata pada 10 Oktober 2013 di Jepang bersama 128 negara lainnya. Hanya saja, saat itu kita belum meratifikasinya.
Saya hadir sebagai satu-satunya perwira militer aktif, dan memberikan masukan dengan menyampaikan hasil penelitian yang kami lakukan dan dampak penggunaan merkuri di masyarakat.
Akhirnya pada tanggal 13 September 2017, Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Minamata melalui UU No. 11 tahun 2017 Tentang Pengesahan Minamata Convention on Mercury.