SuaraBogor.id - Sebuah angka mengejutkan datang dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor sebanyak 650.000 kendaraan tercatat menunggak pajak.
Ironisnya, angka fantastis ini muncul di tengah program keringanan dan pemutihan denda yang sedang digalakkan.
Usut punya usut, penyebabnya bukan karena masyarakat malas atau tidak tahu aturan.
Kepala Pusat Pengelolaan Pendapatan Daerah Wilayah (P3DW) Kabupaten Bogor, Yadi Cahyadi, mengungkap sebuah dilema pahit yang dihadapi warga mereka terpaksa memilih antara membayar uang sekolah anak atau menunaikan kewajiban pajak kendaraan.
Baca Juga:Waspada! Ini 5 Cara Mudah Kenali Beras Oplosan yang Banjiri Bogor, Jangan Sampai Tertipu Label
Yadi Cahyadi memaparkan data yang mengkhawatirkan. Hingga akhir Juni, tingkat ketidakpatuhan pembayaran pajak kendaraan di Kabupaten Bogor masih sangat tinggi, mencapai 38%.
"Dari 38 persen itu sekitar 650.000 kendaraan di Kabupaten Bogor yang masih menunggak pajak kendaraan mereka," ungkap Yadi, Jumat (18/7/2025).
Meskipun pemerintah provinsi telah memperpanjang program keringanan pajak hingga September 2025, antusiasme masyarakat justru terlihat menurun drastis sejak awal Juli.
"Cuman sepertinya bulan Juli agak landai karena dari 1 Juli sampai sekarang pun kita melihat agak landai pelayanan di Samsat di seluruh Samsat Jawa Barat," jelasnya.
Yadi menepis anggapan bahwa rendahnya kepatuhan ini murni karena kelalaian masyarakat. Ia menunjuk dua faktor utama yang menjadi biang keroknya: kondisi ekonomi yang melemah dan momentum tahun ajaran baru.
Baca Juga:Wajah Baru Tegar Beriman: Selamat Tinggal Ngeri Nyeberang, Pemkab Bogor Siapkan 3 JPO Modern
Menurutnya, masyarakat dihadapkan pada pilihan sulit antara kewajiban membayar pajak dengan kebutuhan primer yang tidak bisa ditunda, yaitu pendidikan anak.
“Dimana masyarakat lebih mengutamakan dulu kebutuhan anak sekolah bulan Juli ini, sehingga saat ini masih agak kurang bagus yang datang maupun aspek pendapatannya,” ungkap Yadi.
Fakta ini seolah menjadi cermin kondisi ekonomi riil masyarakat di lapangan, di mana kebutuhan dapur dan masa depan anak menjadi prioritas mutlak di atas segalanya.
Keputusan Gubernur untuk memperpanjang masa pemutihan didasari oleh dua alasan yang kontradiktif di satu sisi animo masyarakat untuk memanfaatkan program ini masih tinggi, namun di sisi lain tingkat ketidaktaatan juga masih sangat besar.
“Makanya pak Gubernur memperpanjang kembali karena, satu animo masyarakat masih tinggi, kedua ketidaktaatan masih cukup tinggi sehingga diperpanjang,” lanjut Yadi.
Kontributor : Egi Abdul Mugni