"Pas terbukti nggak bersalah, nggak ada ganti rugi apa-apa juga. Wah gila negara, gila nih," kata Fico sambil tersenyum mengingat apa yang dia pikir saat itu,"
Apa kata generasi kedua?
Riri Pandjaitan, putri bungsi DI Pandjaitan, masih berusia delapan tahun saat ayahnya ditembak di rumah keluarga mereka di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Ia bercerita, ia dan kakak-kakaknya sudah tidur di kamar masing-masing ketika sepasukan orang datang dan meminta ayahnya keluar rumah.
Baca Juga:Perolehan Medali PON Papua 29 September: DKI Geser Tuan Rumah
Tak lama, tembok rumah dihujani peluru, merusak lukisan, dan sejumlah perabotan di rumah, yang hingga kini masih dapat dilihat bekasnya.
Di bawah sebuah pohon di rumahnya, Riri bercerita ayahnya minta diberikan waktu untuk berdoa sebelum dieksekusi.
Lalu terdengar suara tembakan, yang tak hanya sekali, menghabisi nyawa ayahnya.
"Darah kental itu dilihat sama kita. Saya saat itu delapan tahun, nggak ngerti kenapa ayah saya dibunuh. Rusak jiwa saya," ujarnya.
Keadaan itu memaksanya menjadi dewasa di usia yang sangat dini.
Baca Juga:Biaya Komitmen Formula E Jakarta Lebih Mahal, Alibi Anies: Tiap Kota Berbeda
Trauma itu terus membekas bertahun-tahun, kata Riri, membuatnya menjadi sosok yang pemberontak.
Riri mengatakan ia baru mengalami pemulihan pada usia 20-an tahun melalui pemahamannya akan agama Kristen yang dianutnya.
"(Pemulihan) nggak bisa lepas dari Tuhan karena ini masalah dibunuh secara biadab, dibuang ke Lubang Buaya. Ini bukan hal yang bisa dilupakan begitu saja kecuali kita bisa dekat dengan Tuhan," katanya.

Komunitas agama, kata Riri, mengajarkannya soal pengampunan pada mereka yang membunuh ayahnya.
"Dari pihak keluarga, kami pasti mengampuni, memberkati, tapi bukan artinya perbuatan [pembunuhan] itu dibenarkan.
"Ini kan (perbuatan) PKI, komunis.. bukan berarti azas-azas itu diterima," ujarnya.