MK Putuskan Sistem Pemilu Terbuka, Hakim Ingatkan Hal Ini Untuk Partai Politik

MK juga menilai bahwa partai politik tidak serta-merta dilemahkan dengan penerapan sistem proporsional daftar calon terbuka

Andi Ahmad S
Kamis, 15 Juni 2023 | 18:17 WIB
MK Putuskan Sistem Pemilu Terbuka, Hakim Ingatkan Hal Ini Untuk Partai Politik
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (tengah) membacakan putusan soal gugatan sistem pemilu proporsional terbuka di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (15/6/2023). (Suara.com/Dea)

SuaraBogor.id - Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menetapkan sistem Pemilu terbuka, usai viral di media sosial bahwa akan diubah ke sistem Pemilu tertutup.

MK juga menilai bahwa partai politik tidak serta-merta dilemahkan dengan penerapan sistem proporsional daftar calon terbuka, terbukti dari peran sentral partai dalam menentukan bakal calon anggota legislatif untuk pemilihan umum (pemilu).

"Partai politik tetap memiliki peran sentral dalam menentukan dan memilih calon anggota DPR/DPRD yang dipandang dapat mewakili kepentingan, ideologi, rencana dan program kerja partai politik yang bersangkutan," ujar Hakim Konstitusi Saldi Isra dalam sidang pembacaan putusan perkara nomor 114/PUU-XX/2022 terkait sistem pemilu legislatif, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis.

Pernyataan ini membantah dalil para pemohon yang menilai bahwa sistem proporsional terbuka melemahkan peran partai politik.

Baca Juga:Hasto PDIP Tuntut Pertanggungjawaban Denny Indrayana di Hadapan Publik Soal Putusan MK

Dalam konteks Indonesia, sejarah menunjukkan nomor urut calon anggota legislatif (caleg) sangat krusial dalam menentukan kemenangan.

Saldi memaparkan bahwa apabila dibaca secara saksama, hasil pemilihan umum anggota DPR tahun 2009, 2014, dan 2019, sekali pun menggunakan sistem pemilihan umum proporsional dengan daftar terbuka, secara empirik calon terpilih tetap merupakan calon yang berada pada nomor urut 1 dan nomor urut 2.

"Yang dapat dimaknai sebagai 'nomor urut calon jadi' yang diajukan partai politik," ucap Saldi.

Mahkamah mengutip hasil riset Pusat Kajian dan Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI).

Pada Pemilu 2009, terdapat 79,1 anggota DPR terpilih merupakan caleg nomor urut 1 dan 2. Pada 2014, jumlahnya mencapai 84,3 persen. Pada Pemilu 2019, jumlahnya 82,44 persen.

Baca Juga:Akhir Perjalanan Gugatan Sistem Pemilu, MK Ketok Palu Tetap Pakai Proporsional Terbuka

"Dengan demikian, eksistensi partai politik tidak semata-mata ditentukan oleh pilihan terhadap sistem pemilihan umum," ujarnya.

Mahkamah mempertimbangkan terkait dalil bahwa partai politik kehilangan peran sentralnya dalam sistem politik Indonesia, maka itu adalah tanggung jawab partai politik untuk memperkuat kelembagaannya sebagai saluran aspirasi konstituen.

Sebelumnya, MK telah menerima permohonan uji materi (judicial review) terhadap Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu terkait sistem proporsional terbuka yang didaftarkan dengan nomor registrasi perkara 114/PUU-XX/2022 pada 14 November 2022.

Keenam orang yang menjadi pemohon ialah Demas Brian Wicaksono (Pemohon I), Yuwono Pintadi (Pemohon II), Fahrurrozi (Pemohon III), Ibnu Rachman Jaya (Pemohon IV), Riyanto (Pemohon V), dan Nono Marijono (Pemohon VI).

Sebanyak delapan dari sembilan fraksi partai politik di DPR RI pun menyatakan menolak sistem pemilu proporsional tertutup, yakni Fraksi Golkar, Gerindra, Demokrat, NasDem, PAN, PKB, PPP, dan PKS. Hanya satu fraksi yang menginginkan sistem pemilu proporsional tertutup, yakni PDI Perjuangan.

Mahkamah Konstitusi pun menyatakan menolak permohonan Para Pemohon, sehingga sistem pemilu proporsional terbuka tetap berlaku.

"Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," ucap Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Anwar Usman ketika membacakan putusan di gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta Pusat, Kamis. [Antara]

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini