- Proses Penonaktifan Belum Final dan Masih Akan Dikawal
- BPD Bertindak Berdasarkan Aspirasi Rakyat
- Kekuasaan Kepala Desa Tumbang Akibat Tekanan Warga
SuaraBogor.id - Tumbangnya seorang pemimpin jarang terjadi dalam semalam. Begitu pula yang terjadi di Desa Bojong Kulur, Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Aksi demonstrasi ratusan warga yang berujung pada penonaktifan Kepala Desa Firman Riansyah oleh BPD pada Selasa (16/9) bukanlah kejadian tiba-tiba, melainkan puncak dari gunung es kekecewaan yang telah lama terpendam.
Di permukaan, narasi yang terlihat adalah massa yang marah. Namun, jika digali lebih dalam, ada akar pahit dari serangkaian kebijakan dan sikap yang dianggap kontroversial, yang akhirnya menyulut api mosi tidak percaya dari warganya sendiri.
Koordinator aksi, Ahmad Fauzi, menyebut gerakan ini sebagai luapan dari kegelisahan kolektif.
Baca Juga:Kekuasaan Tumbang di Bojong Kulur: Didemo Ratusan Warga, Kepala Desa Firman Akhirnya Dinonaktifkan
"Aksi itu merupakan kegelisahan-kegelisahan masyarakat atas kebijakan-kebijakan Firman Riansyah," ujar Fauzi.
Lantas, "kegelisahan" dan "kebijakan" seperti apa yang menjadi biang keladinya?
1. Tembok Komunikasi dan Aspirasi yang Buntu
Sumber utama dari kekecewaan warga adalah perasaan tidak didengar. Menurut berbagai sumber di lapangan, banyak keluhan dan aspirasi warga—mulai dari masalah infrastruktur jalan, pengelolaan sampah, hingga isu sosial lainnya—yang disampaikan kepada pemerintah desa namun seolah membentur tembok.
Keluhan Diabaikan
Baca Juga:4 Fakta Panas Sengketa Masjid Bogor, Punya Izin Resmi Tapi Tetap Disegel
Warga merasa laporan mereka seringkali tidak ditindaklanjuti secara serius.
Dialog Satu Arah
Musyawarah atau pertemuan desa dinilai lebih bersifat formalitas, bukan sebagai forum untuk menyerap aspirasi secara tulus.
Ketika saluran komunikasi formal tersumbat, warga akhirnya memilih saluran komunikasi yang paling keras dan efektif: jalanan.
2. Dugaan Kurangnya Transparansi dalam Kebijakan
Isu sensitif di tingkat desa seringkali berkisar pada pengelolaan sumber daya dan anggaran. Meskipun tidak disebutkan secara eksplisit, kebijakan kontroversial seringkali beririsan dengan masalah transparansi, terutama terkait;
Pengelolaan Dana Desa (DD)
Warga menuntut keterbukaan lebih dalam alokasi dan realisasi Dana Desa untuk program pembangunan.
Program Bantuan
Muncul pertanyaan terkait distribusi program bantuan sosial dan pemberdayaan yang dinilai tidak merata atau tepat sasaran.
Ketidakjelasan dalam hal-hal fundamental seperti ini menciptakan ketidakpercayaan, yang perlahan tapi pasti menggerogoti wibawa seorang pemimpin.
3. Gaya Kepemimpinan yang Dianggap Jauh dari Warga
Di luar kebijakan teknis, faktor personal dan gaya kepemimpinan juga memainkan peran krusial. Warga desa mendambakan sosok pemimpin yang merakyat, mudah diakses, dan mau turun langsung ke bawah.
Ketika seorang kepala desa dianggap menciptakan jarak, sulit ditemui, dan lebih bergaya birokratis, ikatan emosional dengan warganya akan terkikis.
Akumulasi dari sikap inilah yang membuat warga merasa tidak lagi "memiliki" pemimpin mereka, sehingga desakan untuk menggantinya menjadi begitu kuat.
Melihat situasi yang semakin memanas, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) akhirnya mengambil peran sebagai penyambung lidah rakyat.
Keputusan mereka untuk merekomendasikan penonaktifan adalah langkah untuk meredam gejolak yang lebih besar.
“Dengan ini kami BPD Bojong Kulur, secara kolektif kolegial menyepakati untuk menyampaikan rekomendasi kepada Bapak Bupati Bogor, yaitu untuk menonaktifkan Kepala Desa Bojong Kulur yaitu Firman Riansyah,” tegas Ketua BPD, Yayat Supriatna.
Rekomendasi ini kini menjadi pertaruhan. Warga akan terus mengawal proses ini hingga ke meja Bupati Bogor, Rudy Susmanto.
"Sudah ada rekomendasi dari BPD yang dikeluarkan ya kita akan mengawal proses ini juga," tutup Ahmad Fauzi.