4 Fakta Panas Sengketa Masjid Bogor, Punya Izin Resmi Tapi Tetap Disegel

Ini bukan lagi sekadar sengketa bangunan, melainkan benturan keras antara kekuatan hukum dan penolakan sosial.

Andi Ahmad S
Selasa, 16 September 2025 | 15:35 WIB
4 Fakta Panas Sengketa Masjid Bogor, Punya Izin Resmi Tapi Tetap Disegel
Pemasangan spanduk oleh Plt Kasatpol PP Kota Bogor Rahmat Hidayat di lokasi pembangunan Masjid Imam Ahmad bin Hanbal (MIAH) di Jalan Kolonel Ahmad Syam, Kelurahan Tanah Baru, Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor, Jawa Barat. ANTARA/HO-Pemkot Bogor
Baca 10 detik
  • Perpanjangan Status Konflik Tanpa Batas Waktu
  • Prioritas Mediasi untuk Mencari Jalan Keluar
  • Dua Kubu dengan Argumen Kuat yang Saling Berhadapan

SuaraBogor.id - Polemik pembangunan Masjid Imam Ahmad bin Hanbal (MIAH) di Kota Bogor kembali memanas setelah pemerintah daerah memutuskan untuk memperpanjang status keadaan konflik.

Artinya, area pembangunan di Tanah Baru itu tetap ditutup tanpa batas waktu yang jelas.

Situasi ini membingungkan banyak pihak: bagaimana mungkin sebuah proyek yang sudah mengantongi izin dan bahkan menang di pengadilan bisa dihentikan?

Ini bukan lagi sekadar sengketa bangunan, melainkan benturan keras antara kekuatan hukum dan penolakan sosial.

Baca Juga:Mengurai Benang Kusut Konflik Masjid di Bogor

Agar tidak bingung, mari kita bedah akar masalahnya dalam 4 poin penting berikut ini.

1. Status Konflik Diperpanjang Tanpa Batas Waktu

Ini adalah perkembangan terbaru. Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) dan tokoh agama sepakat untuk kembali menyegel lokasi.

Plt Kasatpol PP Kota Bogor, Rahmat Hidayat, secara resmi memasang spanduk yang melarang siapa pun memasuki area tersebut.

Alasannya? Memberi ruang bagi proses mediasi.

Baca Juga:Status Konflik Pembangunan Masjid di Bogor Diperpanjang Tanpa Batas Waktu, Mediasi Jadi Jalan Buntu?

“Pemasangan spanduk perpanjangan penetapan status keadaan konflik yang sekarang tidak ada batas waktu, tetapi menunggu hasil kesepakatan mediasi dari Tim Badan Mediator Nasional kedua belah pihak dan Ombudsman,” ujar Rahmat.

Artinya, nasib masjid ini sekarang sepenuhnya bergantung pada hasil dialog, bukan lagi pada palu hakim atau lembaran IMB.

2. Di Atas Kertas, Legalitas MIAH Sebenarnya Sangat Kuat

Jika kita hanya melihat dari sisi hukum formal, pihak panitia pembangunan masjid seharusnya berada di atas angin. Ada dua pilar legalitas utama yang mereka pegang:

Mengantongi IMB Sah

Izin Mendirikan Bangunan (IMB) adalah syarat mutlak untuk membangun, dan pihak MIAH sudah memilikinya. Izin ini dikeluarkan secara resmi oleh Pemerintah Kota Bogor.

Menang Gugatan di PTUN

Ketika IMB ini digugat, pihak masjid melawan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan menang. Putusan ini sudah berkekuatan hukum tetap, yang berarti pemerintah seharusnya wajib menjalankannya.

Secara hukum, tidak ada alasan untuk menghentikan proyek ini.

3. Tembok Penolakan Warga yang Sulit Ditembus

Di sinilah letak masalah utamanya. Meskipun legalitas sudah di tangan, penolakan dari sebagian warga sekitar menjadi penghalang terbesar.

Penolakan ini bukan tanpa alasan dan cukup mendasar, di antaranya:

Ada kekhawatiran di kalangan warga bahwa masjid ini akan menyebarkan paham keagamaan yang dianggap tidak sesuai dengan tradisi dan kultur religius mayoritas warga setempat.

Sejumlah warga merasa tidak dilibatkan secara memadai dalam proses perizinan. Mereka mengklaim persetujuan yang menjadi syarat IMB tidak merepresentasikan suara warga asli di sekitar lokasi.

Bagi warga yang menolak, ini adalah soal menjaga keharmonisan dan mencegah potensi perpecahan di lingkungan mereka.

4. Dilema Pemkot: Tegakkan Hukum atau Jaga Stabilitas?

Posisi Pemerintah Kota Bogor saat ini sangat dilematis, terjepit di antara dua kepentingan besar.

Di satu sisi, mereka wajib menghormati dan menjalankan putusan PTUN sebagai bagian dari prinsip negara hukum.

Di sisi lain, mereka punya tanggung jawab utama untuk menjaga ketertiban umum dan mencegah konflik sosial meledak di wilayahnya.

Kebijakan memperpanjang status konflik adalah jalan tengah yang diambil. Langkah ini bisa dibaca sebagai upaya membeli waktu agar mediasi bisa menemukan solusi kompromi yang tidak bisa diberikan oleh pengadilan.

Namun, ini juga membuka pertanyaan tentang kepastian hukum di Kota Bogor.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini

Tampilkan lebih banyak